Selasa, 18 Oktober 2011

          Tak ada yang bisa saya sampaikan, hanya desahan panjang yang keluar dari mulut saya. Ini terlalu mengenaskan, hidup sudah terasa begitu membosankan semua hal perlahan menguap membuat batas kesabaran mulai habis membuat titik jenuh kembali penuh oleh semua hal yg menguap begitu saja. Aku sudah lupa kapan terakhir kali hidup ini begitu menyenangkan! Mungkin ini salah satu hal yg membuatku sempat memilih jalan yang tidak banyak dipilih orang lain. hidup ini terlalu membosankan!
          Saya tidak tahu harus kepada siapa saya meluapkan semua rasa ini, harus bagaimana saya mengungkapnya. Satu"nya yang saya percayai hanya diri saya sendiri tapi saya sudah jenuh terlalu lelah untuk berpikir dengan otak saya sendiri. Saya ingin berbagi, saya butuh tempat berbbagi, manusia, berbentuk, bernyawa dan dapat berinteraksi walau saya tahu tempat terbaik untuk mengadu adalah Tuhan namun saya tidak punya kekuatan untuk mengadu pada-Nya.
           Apa yang harus saya lakukan? Kekosongan, kesepian, kegelisahan, dan kepenatan semua menumpuk menjadi satu topik seolah ini sangat menarik untuk selalu dibahas seolah hanya ini satu"nya topik yang sangat perlu untuk dibahas dalam hidup saya. Kehidupan saya tergeserkan oleh perasaan" takut, saya takut saya tidak mampu lagi bertahan selama ini saya selalu mencoba yang terbaik yang bisa saya lakukan saya sudah coba tapi selalu gagal!
           Salahkah saya yang selalu berusaha untuk tetap tegar dan kuat hingga mengingkari apa yang saya rasakan? Tidak dapat dibenarkankah yang saya lakukan? Saya memiliki 1000 topeng untuk menutupi apa yang saya rasakan, lantas terlalu munafikkah saya?
          Saya, saya.. tak bisa berbohong saya sedang mencari dopping untuk diri saya sendiri. Saya sedang mencari semangat yang lama tak menyeruak ke permukaan. Orang" itu telah lama berlalu sedang saya masih tetap bertahan dengan logika palsu saya yang membuat saya terlihat konyol didepan cermin. Saya berpikir dan terusberpikir hingga terkadang kepala saya ingin meledak saya menyadari banyak hal yang tidak saya akui satu diantaranya adalah terkutuklah orang" yang selalu mengandalkan logikanya, tersiksalah orang: yang selalu mengandalkan kerealistisan menjadikannya sebagai sebuah alasan untuk pelarian dari ketidakrelevanan dirinya sendiri.
           Saya sadar Tuhan tak akan mengembalikan semuanya pada saya maka dari itu saya tak minta banyak saya hanya minta kembalikan orang seperti dia, orang yang selalu menghantui bayang saya kemanapun saya melangkah orang yang membuat saya tak pernah lelah mencari orang seperti dia, kembalikan..
          Dengan sangat memohon kepada Kau sanga penguasa seluruh alam semesta...

Kamis, 13 Oktober 2011

# Kutipan dari komentar seorang teman

  " Seandainya Tuhan bisa kusentuh, maka aku akan memeluknya erat-erat. Menangis didepannya, menceritakan suka duka kehidupanku. "

# Surat cinta Soe Hok Gie
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Mirasa
Tapi aku ingin menghabiskan waktu ku di sisi mu... sayangku...

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandala Wangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang mati kelaparan di Biapra
Tapi aku ingin mati di sisi mu...
Manis ku...

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini sayang ku...

Kalian yang pernah mesra
Yang simpati dan pernah baik pada ku

Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung...

Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita tak kan pernah kehilangan apa-apa

Selasa, 11 November 1969

Rabu, 12 Oktober 2011

Hati

Tuhan..
ajarkan aku bagaimana caranya agar aku dapat menemukan arti dari segala sesuatu yg menjadi beban dalam hidupku.
Tuhan..
katakan padaku bagaimana seharusnya aku bersikap saat aku merasa ini semua tidak adil dan tidak dapat menemukan kenyamanan?
Tuhan..
bantu aku untuk menemukan tujuanku, bantu aku untuk bertahan hingga garis terakhir perjuanganku, bantu aku untuk sampai digaris finish bukan memfiniskan lebih awal atas segalanya..
Tuhan..
adakah kesempatan untukku mebuktikan pada semuanya bahwa aku dapat kembali seperti awal? kembali seperti diriku yg tlah lama hilang tergantikan dengan sisi yang lainnya??
Tuhanku..
aku memang tidak sering bersimpuh memohon ampun pada-Mu, aku memang tidak pernah patuh dengan semua aturan-Mu, aku memang sering lalai dalam melakukan tugasku atas-Mu tapi Tuhanku sesungguhnya Kaulah yang paling mengetahui apa yang ada dalam hati dan pikiranku tanpa perlu kuberitahu terlebih dahulu..

Bila ada yang harus kulakukan untuk menukarnya beri aku petunjuk, beritahu aku bagaimana cara menukarnya? Kau tahu apa yang aku butuhkan, hanya berikan sedikit saja dari rasa kasih sayangMu terhadap bonekamu ini..

Oh Tuhanku..
Kaulah makhluk terkuasa didunia ini, hanya Kau yang sanggup menguasai apa yang takkan pernah terkuasai oleh manusia ; HATI.

Tuhanku, sekali lagi..
aku bersujud menyembah Rajaku, pemilik atas diriku agar Kau bantu aku untuk menjadi orang yang ikhlas..








Rabu, 05 Oktober 2011

Pertemuan Dua Hati


Pertemuan Dua Hati

                Sebelumnya aku hanya terus menyimpan namanya (mantan kekasihku), wajahnya, dan semua kenangan bersamanya jauh didalam hatiku. Hingga  saat aku merasa menemukan hidupku bersama laki-laki pilihanku, aku masih terus menyimpannya didalam hatiku dan tak pernah terlupa walau satu milimeterpun, tak pernah. Lantas apa aku tlah mengkhianati lelakiku dengan rahasia yang terus kusimpan? Apa aku dapat dibilang tlah mendustai ikatan suci yang tlah terjalin diantara kami?

* * *

                Ceritanya dimulai pada bulan Oktober, yah.. tepatnya 17 Oktober lalu. Aku baru saja pulang berbelanja kebutuhan bulanan yang sengaja kubeli setelah aku pulang dari kantorku. Biasanya aku belanja bulanan bersama Zizi suamiku, namun bulan ini tidak karna dia memastikan dirinya akan lembur dan baru akan pulang pukul sembilan malam nanti. Aku membawa blanjaanku dengan trolli yang kudorong menuju depan mall untuk mencari taxi. Saat aku sedang mendorong sambil meminum vannila latteku tiba-tiba seorang pria menabrakku hingga vannila latte tumpah membasahi blezerku. Sambil bersungut aku mencoba mengelap bajuku dengan tissue yang kuambil dari dalam tasku.
                “ Gimana sih, enggak bisa liat ya? Selain menggunakan kaki jalan itu juga harus menggunakan mata supaya enggak nabrak orang sampai kayak begini. Basahkan baju saya jadinya! Lain kali hati-hati mas, untung cuman minuman coba tadi saya bawa air raksa, bisa ancur badan saya bukan cuman bajunya.”
                “ Maaf mba, maaf.. saya enggak sengaja, saya buru-buru soalnya.”
                “ Apa cuman anda yang terburu-buru? Saya juga, saya mesti cepat pulang kerumah sa....- (tertahan) ya…” aku menatapnya bingung sembari mengerutkan keningku. Diapun melakukan hal yang sama denganku, kedua matanya sengaja disipitkannya. Kami terdiam untuk beberapa detik. Lalu aku meninggalkannya begitu saja sambil terus mengingat siapa pria barusan yang menabrakku.
                Setelah beberapa langkah darinya tiba-tiba aku ingat siapa pria itu, aku berbalik dan dengan cepat memanggil namanya dan hal yang samapun dilakukannya padaku. Yah.. kami saling meneriaki nama lawan kami. Aku lalu tersenyum tak percaya dengan apa yang kulihat. Dengan cepat ia menghampiriku sembari menjabat tanganku.
                “ Hei.. apa kabar? Udah lama banget yah kita enggak ketemu!” serunya antusias.
                “ Baik. Aku, aku enggak percaya bisa ketemu kamu lagi. (tertawa memaksa) ee.. ini benar kamu?” tanyaku penasaran.
                “ Oh, come on.. apa aku harus nunjukin KTP sama kamu supaya kamu yakin? Aku juga enggak nyangka bisa ketemu kamu, surprise banget rasanya..” tuturnya dengan wajah yang merona bahagia.
                “ (tertawa pelan) gimana ceritanya kamu bisa ada disini?”
                “ Panjang banget ceritanya, lagian aku buru-buru nih, ada janji ketemuan di foodcart. Ini kartu nama aku, aku enggak mau tau pokoknya nanti malam jam sembilan kamu mesti hubungin aku, Ok.!” Bersiap pergi meninggalkanku.
                “ Tapi…” kalimatku tertahan.
                “ Enggak ada tapi-tapian, aku buru-buru banget nih. Aku tunggu telpon kamu.” Ujarnya sembari buru-buru meninggalkanku menaiki eskalator yang letaknya tak jauh darinya.
                Aku terdiam mematung melihatnya menaiki eskalator, dan sempat ia berbalik melihatku sambil menunjukkan jari kelingking dan jempolnya yang kemudian digerakkan tanda telpon lalu bibirnya berkata pelan yang dapat kubaca walau jauh “ jangan lupa telpon.” Aku tersadar ketika dia melesat diantara kerumunan orang diatas. Sepanjang perjalanan menuju rumah aku terus memikirkan peristiwa tak sengaja pertemuan kami itu. Aku sampai tersenyum sendiri dibuatnya didalam taxi.
                Setelah mengemasi blanjaanku, aku duduk dimeja makan. Tanganku tak henti membolak-balik kartu nama itu, rasa tak percaya masih menyelimuti pikiranku. Kulihat jam dihandphoneku, pukul 19.47 menit. Tak sabar rasanya menunggu waktu yang dijanjikan, lagi-lagi aku dibuatnya tersenyum sendiri. Aku lalu mandi dan mengganti pakaianku, setelah itu kurelaxkan tubuhku diatas kasurku, sekali lagi kulihat jam yang ada diatas meja disamping ranjangku, pukul 20.26 menit. Gelisah aku dibuatnya menanti waktu itu, untuk kesekian kalinya aku kembali tersenyum sendiri sambil membolak-balik kartu nama yang berwarna jingga itu. Sambil menanti waktu itu aku menyibukkan diriku dengan menonton acara di tv ditemani stik keju dan softdrink.
                Tiba-tiba pintu kamarku terbuka dan masuklah laki-laki yang kuserahkan sluruh hidupku dan kuberikan semua pengabdianku untuknya, laki-laki yang kupercayai mampu menjadi imamku, yah.. suamiku tercinta. Langkahnya tertahan melihat raut wajahku yang melihatnya dengan wajah kaget. “ Kayak liat setan aja non?” serunya sambil tersenyum. Dia naik keatas kasur dan duduk disampingku lalu mencium keningku mesra. “ Kamu udah makan?” tanyanya sambil mengambil stik keju yang ada dalam pelukanku.
                “ Udah.” Jawabku sambil tersenyum.
                “ Kamu kenapa kaget liat aku datang? Emang enggak denger suara mobil aku?” sambil mengendorkan dasinya.
                “ Enggak, makanya kaget (membantu melepaskan dasi dan membuka kancing atas kemejanya) Mandi gih, lusuh gitu.”
                “ Ya udah, aku mandi dulu ya sayang.” Jawabnya sambil tersenyum. Ia melepas semua pakaiannya dan melilitkan handuk dipinggangnya. Sebelum ke kamar mandi ia sempat menggodaku dengan mematikan tv. Aku melemparnya dengan stik keju sambil meneriakinya dan buru-buru ia masuk kedalam kamar mandi sambil terkekeh. Aku pun tertawa dibuatnya, suamiku itu ada-ada saja tingkahnya. Tanpa sengaja aku melihat jam yang sudah menujukkan pukul setengah sepuluh, bergegas aku mencari kartu nama jingga tadi dan handphoneku.
                Aku keluar dari kamar dan duduk dibalkon rumahku. Kutarik nafas panjang lalu dengan mantap kutekan nomor-nomor yang tertera di kartu nama itu. Jantungku berdegup kencang saat mendengar nada tut.. yang terdengar. Lalu telponpun diangkat.
                “ Hallo?” sapa suara disebrang sana.
                “ Hai..” balasku.
                “ Kok lama? Dari tadi aku nungguin telpon kamu. Kamu telat setengah jam.”
                “ Oh ya?! Maaf, tadi aku keasikan nonton sih..”
                “ Masih suka nonton? Enggak berubah ya?”
                “ (tertawa kecil) itukan hoby namanya, emang bisa berubah?”
                “ Bisa dong seiring berjalannya waktu dan berkembangnya cara berpikir kita.”
                “ Ok, nyerah. Masih tetap jago ngomong kayak dulu.” Tertawa
                “ Itu namanya bakat, Bodo.” Jantungku seakan berhenti berdetak ketika ia mengucapkan panggilan sayang kami saat masih pacaran dulu. Aku terdiam untuk beberapa menit. “ Kenapa diam? Masih disitukan?”
                “ Aa..aa.. masih kok, aku kaget aja waktu denger kamu ngomong kayak gitu. Kamu masih…” kalimatku tertahan.
                “ Selamanya. Enggak satupun kisah kita yang terlewat gitu aja diotakku.” Dia menyambar cepat omonganku sebelum aku selesai.
                Tiba-tiba Zizi memanggilku dari kamar dengan setengah berteriak. Aku dengan cepat memasukkan kartu nama dan handphoneku kedalam saku celana tidurku dan tak lupa menHoldkan telponku. Zizi keluar dari kamar dengan menggunakan piyamanya, sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Ia berjalan mendekatiku lalu mencium pipiku lembut. Wangi mint, sabun yang ia gunakan seketika menusuk indra penciumanku.
                “ Kamu ngapain disini?” tanyanya sambil terus menggosok rambutnya dengan handuk.
                “ Lagi nyari angin aja. Kamu enggak istirahat?”
                “ Maunya sih gitu tapi aku maunya sama kamu.” Rayunya sambil mengecup bibirku.
                “ (melepaskan ciuman itu) kamu masuk aja dulu, nanti aku nyusul.” Melempar senyum padanya.
                “ Ok. Hati-hati masuk angin yah, aku tunggu kamu.” Senyumnya nakal padaku. Aku tertawa melihatnya sambil menggelengkan kepala.
                Setelah kupastikan dia masuk kedalam kamar lalu kusambung telponku. “ Kenapa di hold?” tanyanya cepat.
                “ Aah? Mm..enggak ada apa-apa. oh iya, tadi kamu belum cerita, gimana bisa kamu nyampe sini?”
                “ Aku lagi ngurusin kerjaan.”
                “ Kamu kerja dimana sekarang?”
                “ Aku kebagian ngawasin salah satu provider seluler disini.”
                “ Kepala cabang maksudnya?”
                “ He’e, kamu sendiri?”
                “ It’s awesome, greet! Aku kebagian assisten manager officer di salah satu kantor cabang sorum mobil.”
                “ It’s not your dream alright?”
                “ Memang, tapi aku senang kerja disana. Dan setiap hari sabtu aku jadi konselor di salah satu sekolah menengah atas.”
                “ Gimana bisa?”
                “ Kepala sekolahnya tantenya temanku, jadi aku dimintai tolong sama beliau, baru dua bulanan aku disana.”
                “ Ok. You have time to make a lunch or dinner?”
                “ I think dinner it’s not but lunch? I guess yah..”
                “ When and where?”
                “ How about tomorrow?”
                “ Ok. Jam makan siang aku tunggu di foodcart di mall tadi kita ketemu, gimana?”
                “ Ok, I’ll see you soon!”
                “ Ok, good night.”
                “ And for you.”
                “ Aku enggak sabar nunggu besok.”
                “ (tertawa) bye..”
                “ Bye.” Telpon ditutup.
                Dan untuk kesekian-sekian kalinya aku dibuatnya tersenyum sendiri. Aku menghirup udara malam untuk sesaat lalu ku netralisir hatiku agar tidak menimbulkan pertanyaan ketika aku masuk kamar nanti. Saat aku masuk kamar kulihat Zizi telah tertidur pulas diatas ranjang dengan tv masih menyala. Kumatikan tv itu dan kubetulkan letak selimutnya sambil mengecup keningnya lalu akupun tidur disampingnya.

* * *

                Waktu yang dijanjikan.
Aku datang menemui Rangga di foodcart, aku celingak-celinguk untuk sesaat lalu dia melambaikan tangannya. Melihat lambaian itu aku lalu menghampirinya dan duduk tepat didepannya. Baru saja kami bersay hallo tak lama pelayan pun datang dengan membawa segelas cappucino blend, sepiring nasi goreng tanpa sayur, segelas es jeruk, dan sepiring somay yang bumbunya dipisah dengan kecap yang banyak. Aku kaget melihat menu yang dihidangkan didepanku sementara Rangga tlah meneguk es jeruk miliknya.
                “ Kenapa? Masih sukakan?”
                “ Iya sih, aku cuman…”
                “ Enggak nyangka kalo aku masih ingat? Aku udah bilangkan, enggak ada sedikitpun yang terlewat begitu aja tentang kamu di otak aku.” Sekali lagi, jantungku seakan berhenti berdetak namun kali ini ditambah darahku yang mengalir cepat ditambah kali ini sensasi panas seketika kurasa mengisi sluruh wajahku. Kembali aku terdiam karna salah tingkah. “ Dimakan dong, ntar dingin lagi.”
                Akupun menyantap makanan itu. Sambil makan kami bercerita banyak hal hingga selesai makanpun cerita itu belum juga selesai. Mulai dari pekerjaan sampai hal-hal konyol teman-teman kami dikantor. Tiba-tiba keadaan hening sesaat, aku letih tertawa dari tadi. Karna situasi ini sangat tidak nyaman akhirnya kuputuskan untuk membuka pembicaraan.
                “ Udah berapa tahun pernikahan kamu sama dia?”
                “ Dia? Dia siapa?” tanyanya bingung.
                “ Wanita yang ketika tanggal 24 maret kamu lamar dan kalian resmi bertunangan.”
                “ Elsa maksud kamu? Pernikahan kami enggak berjalan baik, kami hanya bertahan selama dua tahun dan setahun yang lalu kami memutuskan untuk berpisah.”
                “ Dia enggak bunuh diri lagi memangnya?” selidikku penasaran.
                “ Kita udah sepakat, toh.. dia sendiri yang minta digugat cerai. Untung saja kami belum sempat mempunyai anak waktu itu.”
                “ Kenapa?” tanyaku lagi.
                “ Terlalu rumit untuk diceritain dan itu panjang banget ceritanya.”
                “ Aku punya banyak waktu buat dengerin semuanya.” jawabku meyakinkannya.
                “ (tertawa) Buatku semuanya udah selesai, jadi.. aku males mau ngebahasnya lagi. Jangan tersinggung, buat aku yang udah selesai itu enggak perlu dibahas lagi.”
                “ Aku ngerti.” Mengulum senyum.
                “ Thanks.”
                “ Jadi siapa sekarang istri kamu?”
                “ Masih menduda (tertawa) rencananya sih mau ngelamar yang lagi duduk didepan aku.”
                “ Kalo kamu mau jadi suami kedua aku sih enggak apa-apa.” tertawa.
                “ Did you have been married?” senyum lengkungnya tiba-tiba mengerut menjadi raut wajah penuh tanya.
                “ Yes, I did.” Lama ia menatapku yang masih tertawa hingga aku merasa terganggu dengan mata itu. “ What’s wrong?”
                “ Nothing. I just surprise to hear that. But, I don’t see your ring!” menatap jari-jari ditangan kananku.
                “ Ofcourse you not. This is the ring.” Mengeluarkan kalung yang bermatakan cincin putih yang berukir  dengan permata hitam kemerah-merahan ditengahnya.
                “ Selalu enggak pernah pas? (tersenyum lebar) masih enggak berubah juga ternyata.”
                “ It’s not a big problem I think.”
                “ Suamimu kerja apa?”
                “ Engineering. Do you wanna to know him?”
                “ I think it’s not a good idea, I’m sorry.” Raut wajahnya berubah lagi.
                Selesai makan siang dia kembali mengantarku kekantorku. Sepanjang perjalanan kami tak henti-hentinya bercerita seperti tak pernah ada cerita yang selesai diantara kami. Aku seperti dihadirkan kembali pada kisah cinta kami yang terjalin beberapa tahun yang lalu selama hampir dua tahun.
                Sudah lama aku rindu dengan wajah itu, tawanya, suaranya, dan semua hal tentangnya. Melihatnya tertawa adalah anugrah yang lama hilang dan kini kembali, kuingin waktu berhenti rasanya. Perasaan apa ini? Aku, aku tak dapat menahan air mataku untuk jatuh. Tiba-tiba dia menepikan mobilnya disisi kiri jalan.
                “ Ada apa?” tanyanya bimbang mengusap air mataku.
                “ Enggak ada apa-apa kok.” Jawabku sambil berusaha tersenyum dan menghapus air mataku sendiri.
                “ Aline..” tangan sebelahnya menggenggam tanganku dan tangan yang lain mengangkat daguku. Matanya menatap mataku. Sorot mata itu, tlah lama pula kurindukan, sorot mata yang menenangkan. Matanya seolah mampu memaksaku untuk berbicara walau aku tak ingin.
                “ Aku hanya, aku hanya merasa tiba-tiba semuanya kembali..” kali ini air mataku mengalir deras.
                “ (mengusapnya dengan jemarinya sambil tersenyum) aku senang akhirnya kamu mengatakan kalimat itu. Aku hanya bisa mengatakan maaf, maaf aku tak mampu jadi yang terbaik dan harus pergi meninggalkanmu.” Ia memegang kepalaku dan menunduk.
                “ (menggeleng) apapun yang terjadi aku slalu bahagia pernah bisa bersamamu. Kamu bukan meninggalkanku itu bukan kemauanmu, kita hanya tak dizinkan bersama lantaran kamu harus ikut bersama ayahmu dan berujung dengan pertunangan itu. Aku sadari hal itu.”
                “ Maafin aku..” menarik badanku dalam pelukannya. Aku smakin menjatuhkan cucuran air mataku.
                Tuhan, apa aku salah? Apakah aku tlah berselingkuh? Menghianati Zizi? Namun aku tak mampu menutupi perasaan ini, aku, aku kembali hidup bersamanya yah.. hidupku yang dulu penuh warna seakan dikembalikan lagi oleh kehadirannya kembali keduniaku. Tuhan.. aku tau aku berdosa..

* * *

                Di meja makan aku hanya bisa menatap Zizi yang sejak tadi menceritakan pekerjaannya dengan antusias. Aku merasa tlah menghianatinya atas perasaan ini namun aku tak mampu berbuat apa-apa. Rangga benar-benar membutakan hatiku yang dulu hanya ada Zizi.
                “ Sayang? Kamu enggak apa-apa? apa kamu sakit?” tanya Zizi bimbang. 
                “ Ha?? Enggak kok.” Menyuapkan sesendok nasi kemulutku.
                “ Kalo baik-baik aja kenapa sejak tadi kamu diam? Apa kamu mendengarkanku?”
                “ (menghela nafas panjang) aku enggak apa-apa kok ( menggenggam tangan Zizi) Maaf ya, aku cuman lagi enggak konsen aja hari ini.” Aku berusaha meyakinkannya dengan tersenyum.
                “ Kenapa? Ada masalah dikantor?”
                “ Sedikit. Tapi kamu tenang aja, aku bisa ngatasinnya kok.” Mengelus tangannya lalu melanjutkan makanku.
                Aku tau, Zizi sedang menatapku dalam mungkin ia sedang mencoba membaca hatiku atau sejenisnya. Perasaan ini benar-benar menggangguku. Selesai makan aku mengerjakan tugas kantorku yang kubawa pulang kerumah didalam kamar. Aku membuka e-mailku yang sengaja ku minimize, karna aku tak ingin Zizi tau bahwa Rangga barusan meng e-mailku.
                “ Sayang, kamu kok belum tidur? Ini udah jam duabelas lho..”
                “ Belum selesai kerjaannya, besok aku udah mesti ngasi laporan ini sama atasanku.”
                “ Tapi enggak usah diporsir yah, aku khawatir nanti kamu sakit..” mengelus rambutku.
                “ Pasti.” Jawabku sambil melempar sebuah senyuman hangat padanya.
                Aku baru tertidur pukul dua pagi. Sepanjang malam itu aku hanya mengerjakan tugasku sambil terus email-emailan dengan Rangga. Pukul delapan aku pergi kekantor dengan diantar Zizi yang juga sekalian akan kekantornya. Saat makan malam bersama Zizi, dia mengatakan akan keluar kota selama dua minggu untuk sebuah proyek. Aku kaget mendengarnya, sebenarnya aku tak ingin Zizi pergi karna aku takut ini semua akan menjadi awal dari sesuatu yang salah namun aku juga tak dapat membantahnya karna aku tau ini bukan kemauan Zizi.
                Aku sedang menonton DVD sendirian di ruang keluarga saat Zizi datang dan duduk disampingku. Ia merangkulku dengan hangat. Sebenarnya tak ada alasan untukku menghianatinya karna Zizi sangat baik kepadaku, dia adalah suami yang benar-benar mengerti aku. Dia rela menemaniku menonton film-film Taiwan yang berepisode-episode padahal ia tak menyukai film-film seperti itu, ia selalu berusaha mengerti sifatku yang moodyan, dia bahkan terlalu baik untuk ku hianati cintanya. Yah.. dia terlalu baik.
                “ Kenapa akhir-akhir ini aku ngerasa kamu sering diam ya? Kamu bener baik-baik aja?” tanyanya membuka pembicaraan diantara kami.
                “ Mungkin karna akhir-akhir ini aku sibuk dengan kerjaanku. Maaf ya..”
                “ Aku sih enggak apa-apa kalo kamu sibuk dengan pekerjaan kamu asal jangan sibuk dengan laki-laki lain aja.” Godanya sambil mencolek pipi kananku.
                JEDEERRRRRRR!!!!!!! Aku seperti tersambar petir malam itu. Pikiranku kacau tiba-tiba, apa mungkin dia tau tentang kedekatanku dengan Rangga? Aku lalu mencoba untuk tenang dan menatapnya.
                “ Memangnya kalo aku sibuk dengan laki-laki lain kenapa?” tanyaku usil.
                “ Aku, aku enggak pernah mikir sampai kesitu. Aku juga enggak tau aku mesti gimana kalo sampai itu terjadi. (memegang kedua pundakku) sayang, aku, aku hanya bisa bilang kalo aku mencintaimu lebih dari kehidupanku ataupun kecintaanku dengan pekerjaanku. Aku hanya mau kamu tau itu.”
                “ Aku percaya.. itukan yang mendasari kamu nikahin aku?”
                “ (tersenyum) aku enggak bakal tinggal diam aja kalo kamu sampai direbut laki-laki manapun.” Aku tertawa mendengarnya. Kami saling pandang untuk beberapa saat lalu dia menciumku mesra dan kami melanjtkannya diatas ranjang. Malam itu adalah mlam terakhir aku bercinta dengannya untuk dua minggu kedepan.
                Pagi-pagi sekali aku mengantarnya kebandara untuk berangkat keluar kota, untuk terakhir kalinya selama dua minggu kedepan dia menciumku hangat. Setelah mengantarnya aku kembali kerumah untuk bersiap berangkat kekantor. Malam ini akan menjadi malam pertamaku tanpa Zizi pikirku dalam hati.
                Makan siang bersama Rangga, masih dihari yang sama.
                “ Jadi, kamu selamanya tinggal disini?”
                “ Enggak. Aku itu disini cuman ngisi kursi kosong kepala cabang. Jadi sifatnya hanya sementara, sebenarnya aku itu Public Relationship di Semarang jadi suatu hari nanti aku bakal balik lagi kalo posisi ini udah ada yang nempatin. Kenapa memangnya?”
                “ Cuman tanya aja.”
                “ Kirain berharap aku slamanya disini.” Tersenyum menggodaku.
                “ Ikh, PD’y kok enggak ilang-ilang dari dulu.”
                “ (tertawa) tapi suka kan kamu.  Ekh, mau enggak main kerumah aku?”
                “ kamu beli rumah?”
                “ Bukan rumah aku sih tapi rumah perusahaan aku. Kan tadi aku udah bilang aku itu disini sementara jadi enggak mungkinlah aku beli rumah termasuk mobil yang aku pakai tiap siang buat ngajakin kamu makan itu. Itu semua cuma pinjaman dari tempat kerja aku. Jadi gimana? Mau enggak?”
                “ Bisa aja. Malam minggu besok gimana?”
                “ Malam minggu? Emangnya kamu enggak sama suami kamu?”
                “ Dia lagi keluar kota. Dua minggu disana.”
                “ Menjanda dong sekarang?” godanya sekali lagi.
                “ Sembarangan kalo ngomong.”
                “ Tenang! Aku siap kok disuruh nikahin kamu, sekarang juga aku siap.” Ujarnya sambil tertawa.
                “ Apaan sih..” jawabku tersipu malu.
                “ Mmm, tadi kamu bilang suami kamu keluar kotakan?”
                (mengangkat kedua alis mata sambil memasukkan sesendok mie tiaw kedalam mulut)
                “ Malam minggu keluar mau enggak?”
                “ Mau kemana emangnya?”
                “ Aku mau ngajak kamu kerumah aku, dinner dirumah aku. Nanti aku bakal bikin masakan special buat kamu, gimana?”
                “ Emang kamu bisa masak? Ntar yang ada aku keracunan lagi..”
                “ Ngeremehin, kalo enak brani kasi aku apa?”
                “ (mengerutkan kening) aku deh yang nyuci piringnya.”
                “ Ok, deal.” Menjulurkan tangannya dan akupun menjabat tangannya. “ Aku jemput kamu jam setengah lima.”
                “ Enggak keawalan buat dinner?”
                “ Aku bakal masak khusus buat kamu jadi kamu tinggal duduk manis dimeja makan dan aku yang bakal masakin, makanya mesti sore.”
                “ Ok.” Jawabku singkat.

* * *

                Sabtu sore yang tlah disepakati.
Aku baru saja selesai mandi saat mendengar bel berbunyi. Dengan menggunakan kimono aku membuka pintu depan dan mendapati Rangga tengah berdiri dengan kemeja biru muda lengan panjang, celana hitam, dan sepatu pantofel hitam mengkilat. Dia tengah membuka kaca mata hitamnya saat aku berjalan untuk membukakannya pagar. Sore ini Rangga terlihat sangat rapi, gayanya benar-benar perlente. Aku memang slalu melihatnya rapi setiap kali ia kekantor namun kali ini ntah mengapa ada yang wah dimataku. Sesuatu yang membuatku berdecak kagum melihatnya ditambah wangi parfumenya yang masih sama seperti dulu, yah.. wangi yang sangat ku hafal.
                Aku mengajaknya masuk dan menunggu didalam rumah sedang aku bersiap-siap. Kupersilahkan ia duduk di ruang tamu dan menunjukkan beberapa majalah yang dapat ia baca selagi menungguku. Tiba-tiba saja aku begitu bersemangat untuk berpenampilan cantik didepannya, aku mulai memoleskan bedak, eye shadow, blush on, dan lipstik bewarna bibir serta menambahkan eye liner dan maskara dimataku, tak lupa pensil alis untuk membuat alis mataku terlihat lebih hitam dan tebal. Setelah selesai bermake-up aku sibuk memilih baju yang akan aku kenakan dan akhirnya pilihanku jatuh pada tube dress beraksen ekstra kerut  yang kemudian kupadupadankan dengan blezer simple sebatas perut berdetail logam berwarna gelap berbahan corduroy berlengan pendek, lalu kupasang anting-anting bulat berbahan semi logam dan high heels bertali dengan tinggi 3cm.
                Setelah siap tak lupa kusemprotkan parfum miss-o dipakaian dan leherku. Setelah 30 menit aku turun menemui Rangga yang sedang menungguku di ruang tamu. Dompet panjang berwarna hitam dalam genggamanku menambah semaraknya penampilanku sore ini.
                “ Maaf ya nunggunya lama.” Sapaku mengagetkannya.
                “ (dia terdiam menatapku untuk beberapa menit) kamu (menghela nafas) disuruh nunggu dua jam juga aku rela kalo hasilnya kayak begini. Kamu cantik, Lin..” balasnya masih menatapku.
                Mendengar itu aku hanya bisa tersipu malu. Dalam perjalanan menuju rumahnya ia memutarkan lagu James Blunt-Your Beautiful, hanya lagu itu yang diputar berulang-ulang. Mobil itu hening sesaat. Hingga suaranya memecah keheningan.
                “ Rumah kamu bagus? Pake arsitek ya buatnya?”
                “ Temannya Zizi yang ngedisign.”
                “ Bagus, aku suka. Elegant dan enggak glamour. (senyum menatapku) kamu sendirian dirumah? Apa enggak capek ngebersihinnya sendirian?”
                “ Kalo pagi dari jam lima pagi sampai jam tiga sore aku nyewa pembantu yang bantu-bantu aku beres-beresin rumah, pokoknya ngerjain semua pekerjaan rumah. Jadi pulang kerumah aku udah enggak mesti ngeberesin lagi.”
                “ Bagus deh jadi kamu enggak perlu repot lagi.”
                Sampai dirumah Rangga. Dia membawaku menuju ruang tengahnya yang berdekatan dengan dapur.
                “ Kamu duduk disini aja dulu aku mau nyiapin bahan-bahannya dulu, kalo kamu masih hoby nonton ya silahkan aja cari kaset yang kamu mau. Oh iya, kamu masih sukakan drama taiwan atau korea?”
                “ Masih. Kenapa?”
                “ Kemarin malam waktu aku ke toko kaset aku ada liat film taiwan, mungkin kamu suka. Nonton aja.”
                “ Bukannya kamu enggak suka film taiwan?”
                “ Emang.”
                “ Terus kenapa dibeli?”
                “ Sengaja buat kamu. Ya udah kamu nonton aja ya aku mau mulai dulu masaknya.
                Dia menggulung kemejanya lalu menggunakan clemek. Dengan cekatan ia memotong bawang dan menyiapkan bumbu-bumbu lainnya dan mulai memasak. Dari tempat ku duduk aku dapat menyium wangi aroma masakannya yang membuat perutku mulai bangkit dan berjingkrak-jingkrak minta diisi. Satu jam kemudian dia mengatakan semuanya tlah siap. Aku terkejut saat melihat meja makan yang disulapnya menjadi begitu wahh.. Dua lilin merah tinggi yang menyala, dan penataan meja makan yang menarik, sangat menarik, aku tak percaya ia menyiapkan semua ini begitu cepat.
                “ Silahkan dicicipi, nona..” serunya sambil memberikan sepiring nasi goreng special.
                “ Mmm.. wangi banget.” Mendekatkan wajahku ke piring.
                “ (tertawa) kalo enak kamu yang nyuci ya piringnya.” Tersenyum dengan wajah penuh kemenangan.
                Aku menyuap sesendok nasi goreng dan rasanya enak sekali walau sedikit kurang asin, tapi ini sangat enak bila dibandingkan dengan nasi goreng buatanku sendiri. Sepertinya malam ini aku rela mencuci piring. Aku melahapnya dengan semangat.
                “ Kayaknya ada yang nyuci piring nih malam ini..” serunya sambil tersenyum penuh kemenangan.
                “ Oke, aku akuin ini enak banget walau sedikit kurang asin. Sesuai kesepakatan aku bakal nyuci piring buat kamu.” Jawabku pasrah.
                “ Aline, kamu masih ingat ini enggak?” memberikan tiket bioskop padaku.
                “ (mengambilnya) kamu..masih nyimpen ini?” tanyaku kaget.
                “ (mengangguk) film pertama kita nonton bioskop. Film itukan yang bikin kamu terobsesi jadi sutradara film, film yang bikin kamu tergila-gila sama karyanya Hanung Bramantyo.”
                “ Ini udah lama banget lo, Ga..” mengembalikan tiket itu.
                “ Aku tau. Tiket itu slalu ada dalam dompet aku slama ini.”
                Aku tak tau harus merespon apa lagi, aku hanya dapat melempar senyumku yang sedikit kupaksa, yah.. aku tak mengerti harus tersenyum bahagia atau bagaimana. Tiba-tiba suasana yang tadi hangat berubah menjadi hening. Yang terdengar hanyalah samar-samar suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Aku tak brani menatap wajahnya, yang dapat kulakukan hanyalah menatap setiap butiran nasi yang sebentar lagi akan segera habis. Untuk meneguk air putih saja aku takut, takut bila mata kami saling bertemu dan dia dapat membaca isi hatiku sedang aku, aku tak tau apa yang sebenarnya tlah terjadi.
                Aku bangkit dari kursi dan membawa piringku kedapurnya untuk mencucinya. Kuletakkan piring itu didalam westafel. Aku berdiri sebentar melihat keluar jendela, hanya ada lampu taman yang menyala dan perlahan hujan mulai turun. Gerimis. Aku melihat bayangan Rangga yang perlahan mendekatiku dengan membawa piring dan gelas ditangannya. Kutundukkan kepalaku, kuambil nafas dalam lalu kuhembuskan pelan. Aku berbalik dan menatapnya dengan segenap kebranian yang tlah kukumpulkan.
                “ Kamu duduk aja, aku bakal nyuci piring ini sampe bersih.” Seruku sambil tersenyum lebar.
                Dan aku mulai membasahi piring-piring itu dengan air dan mulai mencuci. Dia berdiri disampingku dengan meletakkan kedua tangannya di meja. Aku sengaja tak mengajaknya berbicara, membiarkannya menatap halaman belakang rumahnya yang dapat dilihat dari jendela yang persis ada didepanku.
                “ Kamu tau, aku udah lama nunggu saat-saat seperti ini.”
                “ Saat-saat gimana maksudnya?” tanyaku sambil terus mencuci.
                “ Saat-saat aku bisa sama kamu kayak dulu. Tapi sekarang semuanya udah berubah. Apa aku terlalu lama ninggalin kamu? Kamu sekarang udah…(menggelengkan kepalanya pelan) pertama kali dengar dari atasan aku kalo aku mau dimutasi untuk sementara kesini pulangnya aku langsung loncat-loncat enggak jelas didalam kamar. Harapan aku cuman satu waktu itu, ketemu kamu dan…-“ aku menghempaskan spon pencuci piring dalam westafel.
                “ Apa kamu pikir delapan taun itu sebentar? Kamu emang enggak ninggalin aku gitu aja tapi kamu udah ngerubah dunia aku. empat taun Ga, empat taun, aku enggak pernah berhasil punya hubungan yang baik. Semuanya singkat. Dan slama empat taun itu aku slalu bermimpi saat aku buka mata nanti aku bakal baca sms dari kamu atau terima telpon dari kamu atau mungkin bisa ngeliat kamu. Empat taun yang aku kenang cuman kamu. Apa kamu pernah tau gimana hancurnya aku waktu dengar kabar kalo kamu mau tunangan dengan perempuan gila itu? (air mataku menyucur deras) kamu enggak pernah tau gimana sakitnya aku waktu tau itu dan mesti ngerelain itu. Ngelepasin semua impian aku tentang kamu, ngebuang jauh semua harapan aku. dan bertaun-taun setelah itu aku menanti kabar dari kamu, aku enggak tau apa yang mesti aku lakukan ketika suatu hari nanti aku dengar kabar buruk tentang kamu. Dan itu tiba-tiba setelah bertaun-taun aku enggak dengar kabar apapun dari kamu. Kamu enggak pernah taukan gimana rasanya ketika kamu merindukan seseorang tapi kamu enggak bisa melakukan apapun karna memang enggak tau mesti nyari orang itu dimana dan mesti ngelakuin apa untuk mengungkapkan kerinduan kamu? Kamu udah mati atau masih hiduppun aku sama sekali enggak pernah tau. (dengan cepat dia mendekapku kedalam pelukannya yang erat) aku sayang sama kamu, Ga..”
                Sambil menangis aku terus memaksakan berbicara untuk meluapkan semua yang slama ini aku rasakan slama bertahun-tahun lamanya. Aku tak ingat dengan Zizi, suamiku yang sekarang sedang bekerja mungkin. Diwaktu yang bersamaan Zizi menelponku. handphoneku sengaja ku silent dan kumasukkan kedalam dompet panjang. Duniaku berhenti yang ada hanyalah pertanyaan “mengapa” dan “kenapa” yang terus ada dalam otakku. Rangga memelukku erat seakan tak ingin melepasnya lagi, bebanku slama ini serasa hilang saat dapat membasahi kemejanya dengan air mataku. Gerimis diluar tak lama berhenti. Meninggalkan titik-titik air yang membasahi jendela kaca yang ada didapur itu.
                Pukul sembilan malam aku sampai dirumah dengan diantar Rangga. Sebelum keluar dari mobilnya aku sempat terdiam untuk beberapa menit. Aku lalu dengan cepat membuka pintu mobilnya sampai tangannya menarik tanganku tanpa menoleh kearahku. aku lalu kembali duduk manis didalam mobilnya, menunggunya mengatakan sesuatu. Dua menit ia hanya menatap lurus kedepan. Aku lalu mencoba kembali membuka pintu mobilnya dan ditahan kembali.
                “ Apa kamu benar-benar mencintai Zizi?” tatapannya tajam lurus kedepan. Tak sedikitpun ia melirikku.
                “ Pertanyaan bodoh apa ini.” Jawabku lalu kembali mencoba membuka pintu mobilnya. Dengan cepat dia mengaktifkan kuci pintu otomatis yang ada distir mobilnya.
                “ Jawab pertanyaan aku dulu.” Menoleh kearahku. matanya tajam menunggu jawaban dariku.
                “ Apa aku mesti jawab itu?”
                “ Jawab kalo kamu memang sayang sama aku.” sahutnya cepat dan tegas.
                “ Ok (dengan nada sedikit tinggi) awalnya ia. Sampai kamu datang dan membuat semuanya menjadi samar. Sekarang buka pintunya.”
                (tersenyum sinis)
                “ Rangga buka pin…-“ dalam hitungan detik bibirnya tlah ada daiantara bibirku. Aku ingin berontak tapi aku sungguh menikmati ciuman ini. Aku benar-benar tak dapat menahan diriku untuk tidak membalas ciumannya. Dan tiba-tiba pikiran normalku segera bertindak, aku mengingat Zizi dan spontan melepaskan ciuman itu. Aku ingin sekali menampar wajahnya namun ia keburu menangkap tanganku.
                “ Jangan bohongin hatimu, dengarin dia bicara, biar dia yang nentuin pilihannya. Aku memang kurang ajar, tapi kamu bakal jadi orang yang paling munafik kalo kamu bilang aku kurang ajar karna kamu menikmati ciuman itu.” Matanya begitu berapi menatapku, namun nada bicaranya tenang. Aku tak tau apa yang ada didalam otaknya.
                Aku mencoba menahan tapi sebagian hatiku menolak ucapannya dan tangan sebelahku siap menamparnya lalu berhasil ditahannya lagi. Dia menatap mataku tegas namun teduh. Tatapan apa itu?!
                “ Aku hanya mengatakan sekali karna aku enggak akan pernah ngulang kata-kata ini untuk yang kedua kalinya. AKU-CINTA-SAMA KAMU-BODOH…” tatapannya benar-benar meyakiniku, yah.. dia mencoba untuk membuatku percaya dengan ucapannya.
                “ Stop, Ga.. STOP!!!” teriakku sambil menyucurkan air mata dan melepas tanganku paksa dari genggaman tangannya. Rangga melepaskan genggamannya dan menonaktifkan kuci pintu otomatisnya. Dengan cepat aku keluar dari pintu sampai panggilannya menghentikan langkahku.
                “ ALINE!! (mengejarku dan berdiri tepat dibelakangku) aku hanya memintamu untuk berpikir, hanya itu.” Ia berbisik tepat dibelakang telingaku kemudian Ia mundur perlahan lalu berbalik dan masuk kedalam mobilnya.
                Aku masih berdiri mematung sambil terus menangis untuk beberapa detik dan saat aku sadar aku buru-buru masuk kedalam rumah dan mengunci pintunya. Aku bersandar dipintu sambil terus menangis, ntah apa yang aku tangisi. Masih tentang penyesalankah atau rasa bersalahku atas ciuman tadi kepada Zizi, suamiku? Dari jendela kecil yang ada disamping pintu aku mengintip, kulihat mobil Rangga baru bersiap untuk pergi. Aku menangis terduduk, tak sanggup berdiri lagi, tubuhku lemas, badanku bergetar, sementara aku tau handphoneku bergetar terus sejak tadi, mungkin itu Zizi.
                Setelah mengumpulkan cukup tenaga untuk berdiri akupun berjalan menuju kamar. Sampai dikamar aku melepas high heels bertaliku, melemparkan dompet tadi ketas kasur, lalu tubuhku. Malam ini aku letih sekali rasanya, perlahan air mataku mulai berhenti, kuusap pelan, dan terakhir kukeluarkan handphoneku dari dalam dompet kulihat ada sepuluh kali panggilan tak terjawab dari Zizi, empat kali dari Nisa (teman kantorku yang paling dekat denganku, sepupu Zizi), lima sms dari Zizi dan dua sms dari Nisa. Tanpa kubaca aku langsung menonaktifkan telphoneku dan memejamkan mataku.

* * *

                Keesokan paginya. Aku bangun dan langsung menuju dapur setelah berganti pakaian. Aku meneguk seperempat gelas air putih sambil duduk diatas kursi. Pikiranku benar-benar kacau pagi ini. Aku membuat sarapan roti isi telur mata sapi yang sebelumnya rotinya tlah aku bakar dengan tooster. Lalu aku membuat segelas susu rasa vanilla. Sambil sarapan aku mencoba merenung atas semua yang tlah terjadi semalam. Smakin aku merenung smakin pusing kepalaku rasanya.
                Kuhabiskan sepanjang pagiku dengan menonton kartun di tv. Kulihat jam yang terpampang didinding diatas tv pukul 11.10, aku memutuskan untuk keluar rumah yah aku butuh refreshing sekarang pikirku. Setelah mematikan tv aku bergegas untuk mandi. Setelah rapi aku mencoba mengaktifkan handphoneku. Selain sms-sms semalam aku mendapatkan tiga pesan dari Rangga. Aku membalas sms Zizi dan Nisa tapi tidak dengan Rangga. Tak lama Zizi menelponku.
                “ Sayang kamu kemana aja sih?” sambarnya tanpa sempat aku mengucap Hallo.
                “ Maaf ya, semalam itu aku keluar makan makan malam sama beberapa teman SMAku, hpnya aku masukin dalam tas terus aku silent jadi kamu nelpon aku enggak denger, enggak lama hpnya mati gara-gara lowbet. Berhubung aku baru pulang jam sebelas malam, aku pulangnya langsung tidur habis capek banget, lupa deh mau ngecasnya, tadi pagi baru sempet aku cas pas bangun tidur dan sekarang baru aku aktifin.” Jelasku panjang lebar.
                “ Kamu tau enggak kamu tuh udah bikin aku khawatir sama kamu, aku takut kamu kenapa-kenapa. Kalo sempet kamu kenapa-kenapa aku enggak bakal pernah bisa maafin diri aku sendiri. Saking paniknya karna kamu enggak ngangkat telpon aku, aku sampe minta tolong Nisa buat nyari tau keberadan kamu.”
                “ Ya udah aku minta maaf udah bikin kamu cemas.”
                “ Lain kali aku mau kamu jangan lagi silentnin hp, ngerti?! Aku tuh suami kamu, pasti aku bakal pengen tau keadaan kamu dong, aku takut terjadi sesuatu yang buruk sama kamu. Apalagi dengan keadaan kita sekarang. Kamu janji?”
                “ Iya aku janji sama kamu.”
                “ Ok. (nadanya kembali ceria) kamu lagi apa jam segini?”
                “ Aku lagi siap-siap mau pergi nih.”
                “ Emangnya kamu mau kemana? Sama siapa?”
                “ Aku juga enggak tau mau kemana atau sama siapa.”
                “ Maksud kamu?”
                “ Ya.. aku emang gak tau mau kemana. Aku lagi pengen keluar aja, males sendirian dirumah.”
                “ Emangnya kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini kamu sering diem dan sekarang ditanyaiin malah enggak tau mau kemana?”
                “ Enggak kenapa-kenapa sih, beneran! Aku cuman pengen refreshing aja kok..”
                “ Kenapa enggak sama Nisa aja? Atau mau aku yang mintaiin tolong sama dia?”
                “ Mmm.. lagi enggak pengen sama dia.”
                “ Kamu kenapa sih? Kayaknya aku pulang nanti, kita harus bicara?”
                “ Bicara apa sih? Kamu tuh kenapa sih?” aku jadi sedikit kesal karna merasa dicurigaiin.
                “ Aline! Aku ini suami kamu, aku tau ada yang kamu sembunyiin dari aku pokoknya begitu aku pulang kita harus bicara.”
                “ TERSERAH!! Aku lagi enggak pengen berantem sama kamu. Aku sayang sama kamu!” telpon ditutup.
                “ Aline? Halo Aline? (menghembuskan nafas) Aku juga sayang kamu.” Jawabnya pelan.
                Aku bergegas mengambil kunci mobil suamiku dan ketika aku membuka pintu rumah betapa kagetnya aku melihat Rangga berdiri tegak didepan pintu, aku rasa dia ingin mengetuk pintu namun keduluan aku yang membuka pintu. Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya ditambah seikat bunga mawar merah yang dipegangnya. “ Mau apa?” tanyaku singkat.
                “ Aku kesini cuman mau ngantarin maaf sama ini (menyerahkan bunga dan aku terima) aku enggak tau mesti gimana lagi, aku cuman pengen bilang kalo kejadian semalam enggak ada maksud apa-apa, aku cuman (menghembuskan nafas pelan) aku cuman lepas kontrol.” Aku menatapnya tajam.
                “ Terserah kamu mau nerima maaf aku atau enggak, bukan berarti kamu udah terima mawar itu juga kamu harus maafin aku, itu hak kamu lho buat enggak kasi aku maaf. Aline, aku enggak bisa jelasinnya kalo keadaannya kayak gini. Aku harap kamu ngerti.” Dia balas menatapku.
                “ (menunduk menyerah) aku enggak pernah marah sama kamu, kalopun iya aku udah maafin kamu sebelum kamu minta maaf atau ngantarin maaf kamu ke aku sekalipun.”
                “ (tersenyum) kamu mau pergi? Sama aku aja, kebetulan aku juga ada rencana mau ngajakin kamu pergi.” Menaikkan kedua alisnya tanda bertanya.
                “ Ok. Aku taro ini dulu.” Meletakkan bunga mawar merah itu dan kunci mobil dimeja ruang tamu.
                Aku dan Rangga memasuki pusat perbelanjaan, kami menuju tempat bermain dan mulai bermain. Kami memang bukan remaja yang sedang berpacaran dan kami juga tidak terlalu muda untuk bermain ditempat ini namun itu semua tak pernah kami permasalahkan dan aku rasa kami juga tidak terlalu tua untuk bermain disini. Aku dan Rangga begitu menikmati bermacam permainan yang kami mainkan, disalah satu permainan ia berhasil memberiku boneka jerapah kecil. Setelah bermain kami menonton film komedy dan setelah itu makan di foodcart.
                “ Somaynya satu bumbu sama somaynya dipisah terus banyakin kecapnya yah, sama es jeruk peres yang manis banget.” Pesannya pada penjaga salah satu stand. Aku tersenyum mendengar pesanannya. “ Kenapa? Kok senyum?” tanyanya saat melihatku tersenyum.
                “ Enggak. Jadi ingat kejadian yang dulu-dulu aja.” Jawabku menahan tawa.
                Setelah memesan pesananku, kami memilih tempat duduk. Sambil menunggu datangnya pesanan kami, aku dan Ranggapun berbincang tentang masa-masa saat kami bersama dulu. Beberapa peristiwa membuat kami tertawa terbahak-bahak, sambil makanpun kami tetap berbincang, tertawa, dan rasanya semuanya baik-baik saja tak ada masalah apapun yang kuingat sampai tepukan Nisa dipundakku membuatku tersedak.
                “ Aline!? (menatap Rangga dengan penuh tanda tanya) kamu sama siapa kesini?” Mata Nisa seolah bertanya dan mengatakan kecurigaan saat melihat Rangga.
                “ Nisa?? Em, aku sama dia kesini tadi. Kenapa?”
                “ Dia siapa?” tanya Nisa ketus.
                “ Kenalin saya Rangga. (menjabat tangan Nisa) teman SMUnya Aline.” Tersenyum ramah
                “ Nisa, sepupunya Zizi teman kantornya Aline.” Jawabnya ketus.
                “ Oh jadi sepupunya Zizi suaminya Aline?”
                “ Iya, kenapa?”
                “ Enggak apa-apa senang aja bisa ketemu sama kamu.” Senyumnya ramah.
                “ Kalian berdua aja?” meminta Aline menjawab.
                “ Enggak kok. Tadi itu aku enggak sengaja ketemu Aline di konter pulsa ditepi jalan, jadi.. aku sekalian ngajakin dia kesini berhubung kita udah lama banget enggak ketemu sekalian mau traktir dia juga. Kamu mau gabung makan sama kita? Kalo mau aku seneng banget lo, jadi rame..” serunya dengan tenang dan diakhiri senyum ramah. Aku sungguh kagum dengan kemampuan Rangga yang satu ini, dia pandai berbicara dan meyakinkan orang lain lewat kata-katanya.
                “ Enggak usah makasih, aku juga kebetulan lagi ada perlu. Ok, Rangga nice to meet you, see you Lin..” ujarnya sambil tersenyum. Aku hanya membalasnya dengan senyuman yang kupaksa. Kami kembali duduk.
                “ Wow.. kamu bener-bener, Hah~ tiba-tiba aja dia langsung senyum dan percaya gitu aja? Aku enggak heran kalo kamu playboy, jurus itu masih kepake ya?”
                “ (tertawa) aku enggak lagi ngerayu dia. Aku pikir kebohongan itu akan sulit diketahui kalo kita tenang, enggak panik. Tapi aku enggak maksud mau bohongin dia, cuman tadi aku liat kamu kaget banget dan itu bisa bikin dia tambah curiga jadi lebih baik kalo aku yang ngomong. Everything ok, allright?” tertawa lagi.
                “ Yah.. salut deh buat bakat kamu yang satu ini.” Balasku sambil tersenyum.
                “ Ngomong-ngomong kalo kamu memang enggak marah sama aku kenapa kamu enggak balas sms sama email aku? Terus kenapa handphone kamu enggak aktif?”
                “ Aku juga enggak ngerti kenapa. Yang pasti aku ngerasa udah ngehianatin Zizi dan jadi orang yang jahat banget.” Ujarku pelan.
                “ (menggenggam sebelah tanganku) kamu enggak jahat kok, aku yang jahat karna udah buat kamu jadi kayak gini.”
                “ Memang! Kamu datang gitu aja dan buat semuanya jadi ribet kayak gini.”
                “ Aku enggak pernah ngerencanaiin ini, enggak pernah. Aku juga enggak pernah ngeduga kalo kita ketemu disaat yang enggak tepat, kamu udah jadi istri orang dan kayaknya aku jadi pengganggu. Aku cuman enggak mampu nyembunyiin rasa iri aku sama Zizi. Sebelum kejadian semalam, aku pernah sempet terpikir buat bikin kamu jatuh cinta lagi sama aku melebihi cintanya kamu sama Zizi, setelah itu aku minta kamu ceraiin Zizi dan kita bisa menikah lalu tinggal di Semarang tapi setelah semalam aku tau aku enggak boleh egois kayak gitu, aku enggak mau ngerusak kebahagiaan kamu dengan Zizi.” Tuturnya lembut.
                “ Dari mana kamu tau aku dengan Zizi bahagia?”
                “ Kalo kamu enggak bahagia, enggak mungkin kamu bertahan sampai hari ini hidup dengan dia. Udah dua tahunkan? Aku enggak pernah tau Lin, kapan aku balik lagi ke Semarang dan kapan aku bisa balik lagi kesini. Aku hanya enggak mau nyia-nyiaiin waktu aku disini dan aku enggak mampu munafikin rasa kalo aku mau sama-sama kamu walau enggak bisa setiap saat. Aku enggak tau aku bisa balik kesini lagi atau enggak, dan kalo jawabannya enggak atlies aku punya kenangan yang bisa slalu aku ingat seumur hidup aku dan itu pasti akan jadi yang terindah buat aku. tentang kita..”
                “ Kayak mau mati aja sih..” jawabku sambil meledek.
                “ Justru karna aku enggak pernah tau kapan aku mati makanya aku bikin pertanyaan buat diri aku sendiri, kalo aku enggak bisa balik lagi kesini aku tau mesti ngebayangin wajah kamu kayak gimana setelah sekian lama aku enggak ngeliat kamu.” Sorot matanya serius menatapku.
                “ Kalo kamu datang lebih cepat, aku pasti enggak bakal ngalungin cincin ini.” Ada penyesalan dalam kalimatku.
                “ (tersenyum) aku juga pernah mikir kayak gitu tapi ya udahlah… kamu udah makannya?”
                (mengangguk)
                “ Pulang yuk, udah sore banget. Kamu pasti capek.” Tersenyum manis.
                Aku bangkit dari kursi dan melangkah disampingnya, tiba-tiba saja ia menggandeng tanganku dengan santainya. Rangga, kalo aku tau kamu bakal kesini aku enggak bakal nerima lamaran Zizi. Rangga, kalo kamu tau aku enggak pernah sebahagia ini sebelumnya bahkan bersama Zizi sekalipun. Aku menatap wajahnya yang selalu membuat aku bertahan saat semua kehancuran datang padaku, semua nasehatnya selalu meyakinkanku, membantuku untuk berdiri.
                 Tiba-tiba langkahnya berhenti saat melihat dua remaja laki-laki dan perempuan yang baru saja keluar dari photo box. Ia melirikku. Aku menggeleng sambil berkata “ Jangan gila!” dan dia tertawa lalu tanpa banyak tanya ia menarikku kebalik tirai itu aku sempat ingin keluar namun ia berhasil membuatku duduk ditempat itu.
                Dia memegang satu lembar yang terdiri dari empat bagian dan aku memegang selembar yang sama juga. Kami menyimpan photo itu masing-masing sebagai pengingat kebersamaan kami. Ia mengantarku pulang, pukul 19.45 kami sampai dirumahku. Sebelum aku turun dia memintaku untuk mencium kedua pipinya. Ntahlah, tapi kali ini aku tlah melupan Zizi sepenuhnya. Sedikitpun rasa bersalah tak terbesit dihatiku.
                Aku memasukkan mawar merah itu kedalam vas kosong yang kuisi air dingin dan es batu yang kemudian kuletakkan didalam kamar. Aku berbaring diatas kasurku sambil tersenyum sendiri dan melihat kembali photo box kami. Aku terlelap dengan photo itu dalam dekapanku. Hari ini memoryku terisi penuh dengan semua yang akan menjadi kenanganku bersama Rangga.

* * *

                Aku bangun dan bersiap untuk pergi kekantor. Lagi-lagi saat aku akan membuka pintu aku melihat Rangga telah berdiri tegap dengan senyum manis yang melengkung dibibirnya. Ditangannya ada sebuah kotak makanan dan tangan yang lainnya memegang sebotol minuman. “ Selamat pagi.” Sapanya manis padaku.
                “ Pagi juga.” Membalas senyumnya.
                “ Tuan putri sudah sarapan?”
                “ Mmm..tergantung siapa yang nanya.”
                “ (tertawa sambil mencolek hidungku) nih, aku bawain roti isi sama susu vanilla.”
                “ Aduh jadi ngerepotin nih.. (menggaruk belakang leherku) makasih ya.”
                “ Cuman roti isi aja, enggak repot. Ayo, aku antar kamu ketempat kerja, suami kamu masih belum pulangkan?!”
                Perlakuan manis ini benar-benar membuat Zizi menyingkir untuk sementara dari hatiku. Selama ini Zizi tak pernah menyiapkan sarapan untukku tapi Rangga, ah sudahlah… didalam mobilnya aku memakan roti isi itu dan meminum berapa teguk susu yang disiapkannya untukku. Selama hampir dua minggu inilah rutinitasku tanpa Zizi pergi dan pulang bersama Rangga, hampir sluruh hariku bersamanya.
                Dua minggu, Zizi kembali dan aku lupa menjemputnya dibandara. Saat aku pulang kerumah Zizi telah menungguku di depan tv. Aku kaget dan bingung saat melihat dirinya tengah duduk bersandar didepan tv menanti kepulanganku. “ Dari mana?” nada suaranya datar.
                “ Dari kantor terus pulang, enggak ada kemana-mana.” Jawabku mendekatinya perlahan.
                “ Oh ya? (melirik arah jam) sama siapa pulangnya? Kata Nisa udah berapa hari ini kamu dijemput dengan Camry hitam setiap pulang kantor. Siapa?”
                “ (tertawa) kamu curiga yah sama aku?” Merangkulnya hangat dari belakang.
                “ Aline, kamu aneh beberapa hari blakangan ini (menurunkan tanganku dari pundaknya lalu berdiri dan berbalik kearahku) pertama kamu sering enggak jawab telpon aku dan enggak pernah nelpon aku ataupun sms aku selama aku diluar kota, apa pekerjaan kamu sesibuk itu? Kedua Nisa bilang sama aku kalo dia pernah liat kamu di mall sama cowok yang menurut pengakuanmu itu teman SMA kamu, dan kamu enggak ada bilang sama aku mau pergi, apalagi minta izin. Ketiga tiba-tiba aja kamu ganti password email kamu tanpa sepengetahuan aku dan terakhir kalo kamu memang enggak dari mana-mana, kenapa baru pulang? Apa si Camry hitam itu teman SMA kamu? Atau jangan-jangan kamu habis jalan-jalan sama dia? Makanya pulangnya sampe jam segini?”
                “ Ok, aku jelasin satu-satu sama kamu biar kamu enggak salah paham. Pertama, kamu sering nelpon disaat yang enggak tepat dan aku enggak punya waktu untuk sekedar ngerubah silent menjadi dering toh pada akhirnya saat dikantor aku harus silentin juga, tentang kenapa aku enggak pernah nanyain kabar kamu karna aku tau kamu sibuk, aku enggak pengan ganggu kamu.”
                “ Itu bukan alasan! Aku bisa nelpon kamu buktinya kenapa kamu enggak bisa?” sambarnya cepat.
                “ Punya dua pekerjaan itu enggak gampang. Dan menjadi seorang konselor di SMA itu enggak mudah. Kedua, dia memang teman SMA aku. Terserah kamu mau percaya atau enggak. Bukannya sebelumnya aku udah bilang sama kamu kalo aku mau pergi. Dan kepergian aku dengan dia bukan direncanaiin. Ketiga, walaupun kita suami-istri privacy tetaplah sebuah privacy dan kamu enggak perlu usil. Keempat, aku tadi ada lembur dan Camry hitam itu hanya teman yang sekalian lewat karna sebelumnya dia minta temanin aku buat beli DVD. Aku enggak suka dengan cara kamu mencurigai aku.”
                “ Apa kamu pernah cerita semuanya?”
                “ Sepertinya kamu punya banyak waktu, dua minggu kamu ninggalin aku dan aku harus cerita lewat telpon? Kamu tau aku enggak suka.” Meninggalkannya dan masuk kedalam kamar.
                Setelah pembicaraan itu aku dan Zizi tak bertegur selama tiga hari sampai pada hari jumat dia mengirimkan seikat bunga mawar merah kekantorku beserta greeting card yang bertuliskan 
                   I WANT TO SAY APOLLAGIZE FOR
                          EVERYTHING, I MISS YOU.
                          PLEASE DON’T  IGNORE ME AGAIN.
                          I LOVE YOU…

                                                                                            Fahrezi

Setelah membacanya aku lalu menelpon dan mengucapkan terima kasih. Aku merasa aku juga sudah keterlaluan, Zizi tak salah aku lah yang salah sebenarnya. Tak lama handphoneku berdering, telpon dari Rangga.
                “ Hallo?” sapaku.
                “ Jam delapan malam pesawat aku take off ke Semarang.” Nada bicaranya lemah, tak bersemangat seperti biasa.
                 APA??? kenapa mendadak begini sih?”
                “ Aku baru buka email dan baru ngeliat kotak posku. Suratnya udah dari dua hari yang lalu datang. Aku minta maaf.. apa kita bisa ketemu buat yang terakhir kalinya?”
                “ Aku bakal nganterin kamu kebandara.”
                “ Ok, jam tujuh malam aku udah dibandara buat chek in. Aku tunggu kamu.”
                “ I promise, see you.”

* * *

                Pukul setengah delapan lebih lima belas menit aku tiba dibandara. Aku mencari sosoknya dan akhirnya kutemukan Ranggan tengah duduk dengan kepala yang ditundukkan kelantai sambil memainkan tiketnya. Aku berlari kearahnya dan berdiri tepat didepannya. Dia mengangkat kepalanya perlahan untuk melihatku. Ditatapnya mataku untuk beberapa menit. Aku berdiri sambil mengatur nafas.
                “ Aku minta maaf, aku memang ceroboh. Makasih ya udah mau datang.” Melempar senyum yang dikulumnya.
                “ (duduk disampingnya) sampai disana kamu haru hubungi aku ya, terserah mau lewat telpon atau email, itu HARUS!! Dan aku harap kita tetap bisa komunikasi, enggak kayak dulu. Janji?” mengulurkan kelingkingku.
                “ (tersenyum melihatku) ok, aku janji.” Menjabat kelingkingku. Aku memeluknya erat dan diapun melakukan hal yang sama. “ Baik-baik ya disini, sama suami kamu juga. Jangan lakuin apa yang udah kita lakuin ke orang lain buat kedua kalinya, inget.” Melepas pelukan lalu mencolek hidungku.
                Suara wanita dari pengeras suarapun terdengar, wanita itu meminta untuk semua penumpang dengan tujuan Yogjakarta yang akan transit di Jakarta untuk segera chek in dan naik ke dalam pesawat. Kami bangkit dari kursi. Ia menatapku lama dan dalam lalu mengelus rambutku pelan dan melangkah untuk meninggalkanku. Aku menatap langkahnya dengan penuh kegetiran, air mataku akan segera tumpah sampai sebuah teriakan yang memanggil namaku merusak saat-saat getir ini. Langkah Ranggapun terhenti. Rangga berbalik melihatku.
                “ Aline? Aline!!” teriak sura itu diiringi derap kaki yang setengah berlari. Aku berbalik ke arah datangnya sumber suara.
                “ (mengerutkan kening) Zizi?”
                “ Hei, kamu ngapain disini?”
                “ Nganterin teman. Kamu sendiri?”
                “ Client bos aku mau balik ke Medan.” Zizi membuang pandangannya kebelakangku, untuk sesaat direnungnya objek itu dan aku pun mengikuti arah matanya yang ternyata objek itu adalah Rangga. “ Rangga?” seru Zizi yang lalu mendekatinya.
                “ Ezi ya?” tanya Rangga balik. Tak lama mereka tersenyum lalu saling berpelukan.
                “ Gila, lama banget kita enggak ketemu ya.. lo makin ganteng aja sekarang pantes Elsa cinta mati sama lo! Apa kabar lo anak ilang?” tertawa sambil menepuk pundak Rangga.
                “ (tertawa) baik, lo sendiri?”
                “ Baik juga kok. Lo ngapain disini?”
                “ Gue mau balik ke Semarang, lo sendiri ngapain disini?”
                “Jadi slama ini lo disini? Udah berapa lama? Kenapa lo enggak ngubungin gue sih? Gue abis nganterin client tadi, biasa..”
                “ Gue enggak tau lo disini, kan kita udah lama enggak komunikasi lagi semenjak Elsa ngehapus nomor lo dari hp gue. Udah hampir sebulanan gue disini.”
                “Makanya jangan jadi anak ilang lo, main ilang0ilang aja, kayak ninja lo tau enggak?! (tertawa) Oh iya kebetulan itu istri gue.” Menunjuk kearahku.
                “ Istri lo? Jadi Aline itu istri lo?”
                “ Iya. Lo kenal?”
                  (tersenyum) kenal banget malah. Sorry man, itu udah panggilan ketiga bisa-bisa gue ketinggalan pesawat nih, gue cabut dulu ya.” Menepuk pundak Zizi dan tersenyum sambil melambaik kearahku lalu berbalik dan menjauh.
                “ Ok, hati-hati lo!” teriak Zizi.
                “ Pasti. Salam buat istri lo, jaga dia baik-baik. Lo beruntung banget bro bisa nikah sama dia.” Melangkah secepat mungkin menuju pintu selanjutnya dengan berjalan mundur sebelumnya.
                Aku menatap mereka berdua dengan penuh tanda tanya. Lalu Zizi menghampiriku dan menggandeng tanganku menuju keluar bandara. Didalam mobil.
                  Kamu kenal sama Rangga?” tanyaku penasaran.
                  Kenal banget. Satu komunitas sepeda ontel waktu di Semarang. Dia tuh teman baik aku dulu tapi sayang percintaanya tragis banget. Kayak disinetron gitu lah. Enggak lama aku pindah kuliah dan kita enggak pernah komunikasi lagi. Sebenarnya waktu masih di Semarang juga dia udah ngilang gitu aja, katanya sih tunangan sama ceweknya yang psikopat itu. Kenapa? Dia teman baik kamu ya?”
                “ Iya.” Jawabku singkat lalu menunduk.
                “ Kenal dimana?”
                “ Teman waktu kecil.”
                “ Oh pantes, dia tadi nyuruh aku jagain kamu baik-baik. Dia keget banget lo waktu tau kamu itu istri aku. kalian deket banget yah?” aku hanya menganggukkan kepala. “ Kamu bukan mantan pacarnyakan? Atau kamu selingkuh ya sama dia?” serunya sambil tertawa.
                Tak ada satupun katapun yang dapat kukatakan. Ucapan Zizi seperti menikam jantungku. Aku tau dia hanya bercanda tapi itu semua terasa begitu mengena dihatiku. Tiba-tiba wajah Rangga terlintas tepat didepan kedua mataku sementara ucapan Zizi tadi seperti halilintar yang sedang menyambar hatiku. Walau kedekatan aku dan Rangga tak terungkap namun perasaan bersalah pada Zizi benar-benar membuat luka tersendiri dihatiku.
                Ternyata benar yang pernah dikatakan seorang psikolog yang bukunya aku baca. “ Bila kau dilukai seseorang tak perlu kau balas untuk menggores tubuhnya. Biarkan saja, bila dia mempunyai hati maka sesungguhnya dia akan tersiksa atas perasaannya yang tlah melukaimu bahkan rasa itu lebih menyiksa walau tak terungkap.”

* * *