SKETSA
MERAH
Untuk apa kau tetap mencintai seseorang yang kau tahu pasti
tak akan pernah membalas cintamu? Atau kau tahu pasti bahwa kalian tak dapat
bersama?
◊ ◊
◊
Sejak kepindahan rumahku ketika aku baru saja masuk SMP
aku telah mengenalnya. Erga, untukku dia adalah sosok sahabat yang tak mungkin
pernah tergantikan oleh apapun, berapapun nilai mata uang, atau berapa banyak
kemewahan yang dapat kalian suguhkan untukku. Aku mengaguminya dari segala sisi
dalam hidupnya, baiknya adalah keberhargaan untukku sedang buruknya adalah
kebaikan untukku.
Dua
hari yang lalu aku mengunjunginya di sebuah panti jompo, dia masih seperti
dahulu, tak banyak bicara, selalu menggambar, dan mata itu masih sama seperti
dulu saat menatapku, menenangkan.
Aku
baru tahu bahwa ia mencintaiku ketika kami menginjak kelas dua SMA. Saat itu
aku sedang menunggu kepulangannya dari rumah sakit dikamarnya. Duduk diam aku
diatas tempat tidurnya hingga mataku tertarik pada tumpukan buku sketsa
berwarna merah. Aku tau Erga senang sekali menggambar, namun yang aku tau dia
hanya mempunyai satu buku sketsa berwarna hijau yang slalu ia bawa kemana-mana,
dan slalu ia ganti bila kertasnya sudah habis.
Kubuka
lembar pertama buku itu, “ Ketika siutnya angin tak dapat ku rasakan…” tulisan pertama
yang ada dilembar pertama dalam buku itu. Lembar kedua, aku melihat sketsa yang
sudah sangat rapi, seorang anak SMP berambut pendek yang baru saja pulang dari
sekolahnya dengan membawa pot tanamannya
yang terlihat tidak baik-baik
saja. Anak kecil itu duduk
di dalam kamarnya dengan wajah sedih. Hingga pada
lembar-lembar berikutnya, buku itu penuh dengan gambar anak SMP yang sama lalu
tak lama ku ambil buku kedua, pada lembar pertamanya bertuliskan “ Episode 2 “
masih penuh dengan gambar anak SMP tersebut hingga buku kelima kubuka. Lembar
pertamanya bertuliskan “ Tempat baru untuk bermimpi “. Aku mulai mengerutkan
dahiku saat melihat seorang anak SMA sedang berolahraga yang digambarnya,
wajahnya masih sama, dan sepertinya aku mengenal orang ini.
Terus kubuka hingga buku kedua belas yang lembarnya bertuliskan “ Untuk sebuah impian ” aku menemukan semua gambar yang sangat indah, mulai dari perempuan yang berpergangan tangan dengan seorang laki-laki menatap cahaya terang didepannya hingga mereka menikah disebuah kebun yang cantik.
Terus kubuka hingga buku kedua belas yang lembarnya bertuliskan “ Untuk sebuah impian ” aku menemukan semua gambar yang sangat indah, mulai dari perempuan yang berpergangan tangan dengan seorang laki-laki menatap cahaya terang didepannya hingga mereka menikah disebuah kebun yang cantik.
Saat
aku sadar itu semua adalah gambar tentang diriku, aku terkejut. Ternyata slama
ini Erga slalu menggambarku dalam berbagai hal. Semua aktivitas yang kujalani.
Aku tak pernah sadar, kulihat baik-baik kembali buku yang ada dalam genggamanku
itu. Semua buku merah ini menceritakan perjalanan hidupku mulai dari aku SMP
hingga aku kelas dua SMA dan masih banyak buku merah kosong lainnya dirak
buku-bukunya yang mungkin ia persiapkan untuk kisah selanjutnya.
Lalu
tiba-tiba Erga merampas buku itu dari tanganku, tatapannya tajam, wajahnya
mulai memerah. Aku baru saja akan berdiri untuk bertanya saat dia mengusirku “ KELUAR SEKARANG!!!” dengan lantang. Kubalas tatapannya
dengan penuh kebingungan, sekali lagi ia menyuruhku keluar dari kamarnya hingga
yang ketiga kalinya ia membukakan pintu kamarnya lalu menunduk menatap
kotak-kotak lantai keramik kamarnya. Aku keluar dari kamarnya dengan setengah
berlari sambil menyeka air mata. Aku tak menyangka Erga akan sekasar itu
padaku.
◊ ◊
◊
Semenjak kejadian hari itu aku dan Erga tak pernah
bertegur walaupun di sekolah selama beberapa hari. Hingga hari ke empat ia
mendatangiku dikelasku. Menarikku ke pojokan kelas tanpa mau tau aku mau mendengarnya atau berbicara dengannya atau tidak. Hampir tiga menit ia hanya bisa menunduk tak berbicara
sedikitpun. Lalu ditariknya nafas panjang.
“
Aku tau ini semua salah! Aku hanya tak tau apa yang harus kulakukan ketika yang
aku sembunyikan slama ini berhasil kau ketahui. Aku panik, aku takut kau akan
pergi, menjauh dari hidupku karna aku takkan pernah bisa terima itu semua, Ndah..”
“
Aku yang salah Ga, aku enggak minta izin dulu dan asal liat aja.” Jawabku
seraya menunduk.
“
Itu semua memang untukmu. Sekarang kau tau semuanya. sebenarnya aku menyiapkan
itu semua untuk ulang tahunmu yang ke 17 nanti. Aku, aku-“ ujarnya tergagap berusaha meyakinkanku sambil menggenggam kedua tanganku.
“
Aku menyayangimu, walau mungkin sayang kita mempunyai maksud yang berbeda. Kau
adalah sahabat terbaikku dan aku tak pernah ingin menyelesaikan persahabatan
diantara kita.” Ujarku
memotong ucapannya.
Suasana
seketika berubah menjadi hening.
◊ ◊
◊
Semenjak pembicaraan itu hubungan kami menjadi lebih baik,
ia mulai menggambarku terang-terangan, dan tak ada hal yang ia sembunyikan lagi.
Ketika aku lulus SMA aku melanjutkan kuliahku di Adelaide University .
Selama hampir empat tahun aku tak bertemu Erga dan saat aku kembali dan masuk kedalam kamarnya aku tak dapat lagi
melihat dinding kamarnya, dinding kamar yang dulunya berwarna cream. Semua
dinding itu telah tertutup oleh kertas-kertas sketsa yang semuanya
adalah wajahku. Selama empat tahun dia hanya bisa menggambarku dari sisa semua
ingatannya dan hal yang ia bayangkan untuk dituangkan dalam bentuk gambar
tentang kegiatanku. Kebanyakan sketsa itu hanya berupa wajahku dari berbagai sisi.
Dua
bulan setelah kepulangnku ke Indonesia
aku menikah dengan teman kuliahku saat di Adelaide ,
Nick Saddler. Setelah pernikahanku aku tinggal di Indonesia selama kurang lebih
satu minggu, slama itu aku tak pernah berjumpa dengan Erga, sempat aku mendatangi
rumahnya untuk berpamitan sebelum kepindahanku ke Adelaide karna Nick memintaku untuk menetap di sana, namun Erga tak berhasil kutemui.
Ibunya mengatakan padaku sepeninggal pernikahanku Erga memutuskan untuk tinggal bersama neneknya
di Sleman, Jogjakarta .
Sempat terbesit perasaan bersalah dalam hatiku namun aku memang tak mungkin
membalas cintanya. Terakhir aku bertemu dengannya saat hari pernikahanku. Ia
datang sembari memberikanku Lily putih dan kado yang berisi dua buah mug
berwarna merah.
Ibunya
memberikanku sebuah buku sketsa milik Erga yang lembar pertamanya bertuliskan “
Untuk sebuah impian“ buku sketsa kedua belas miliknya yang sengaja ia tinggal
ketika memutuskan untuk tinggal di Sleman. Lewat buku itu baru kupahami benar
tentang isi hati Erga yang sesungguhnya
dan betapa begitu indah
impiannya untuk hidup
bersamaku. Kubawa buku itu menuju rumah baruku di Adelaide dan aku berjanji akan slalu menjaga
buku itu.
◊ ◊
◊
28 tahun sudah aku
membangun bahtera rumah tangga bersama Nick dan aku sudah pula dianugrahi dua
malaikat kecilku, Fergie dan Chole Saddler. Umur mereka kini telah memasuki
usia 27 tahun dan 20 tahun. Anak pertamaku, Fergie baru saja menikah dengan
seorang pria berkebangsaan Italia dan ia memilih untuk tinggal di Madrid . Sedang Chole
lebih memilih untuk tinggal sendiri di aparttemennya. Aku tinggal berdua dengan
Nick dirumah dan setiap hari kecuali weekend dia meninggalkanku dirumah
sendirian hingga pukul delapan malam atau kadang lebih malam lagi untuk bekerja
dikantornya. Karna kesepian aku selalu menyibukkan diriku untuk mengajar les
ballet dulu namun kini setelah aku merasa cukup tua aku hanya menyibukkan
diriku untuk merawat tanaman-tanaman kaktus dan beberapa jenis bunga lainnya di rumah kaca yang Nick buat khusus
untukku.
Pagi
itu memasuki minggu kedua di bulan Desember. Salju yang turun semakin tebal
saja, kemarin malam saja sempat terjadi badai salju dan pagi ini banyak jalan
yang ditutupi salju dan tak bisa dilewati. Suhu dipagi ini hampir mencapai -12°C. Pukul delapan lebih lima belas menit Nick mengecup keningku
hangat, rutinitas biasa yang dilakukannya sebelum dia pergi kekantornya. Namun
ciumannya kali ini terasa berbeda dan sedikit lama, dibelainya rambutku yang
mulai memutih itu lembut.
“ I have to go now.” Ujarnya sembari
melepaskan genggaman tangannya dari tangnku.
“ Be carefull, honey. I love you.”
“ I love you so much.” Balasnya lalu masuk
kedalam Odessy ungu miliknya.
Pukul
sembilan lebih empat puluh menit malam waktu Adelaide , Nick belum juga kembali kerumah,
biasanya bila ia lembur ia slalu memberitahuku terlebih dahulu. Aku mulai
mencemaskannya. Kutelpon handphonenya namun tak aktif. Pukul sepuluh malam
waktu Adelaide , kepolisian mendatangi rumahku
dan memintaku untuk kerumah sakit centre Adelaide .
Sesampainya disana aku melihat Nick sudah terbujur kaku tak bernyawa. Menurut
kepolisian yang memberitahuku Nick meninggal akibat kecelakaan di salah satu
jalan karna ban depannya slip saat sedang mengerem dan akhirnya terlempar ke
pembatas jalan. Tulang rusuknya remuk akibat membentur stang mobilnya. Nick mengalami pendarahan yang cukup
serius di bagian otak.
Sudah
dua bulan Nick meninggal namun aku masih begitu terpukul atas kepergian Nick.
Fergie memintaku untuk tinggal bersamanya di Madrid begitu juga dengan Chole yang
menawarkanku untuk tinggal bersamanya di apartmentnya yang berada di Sydney namun kutolak semua penawaran itu. Aku memilih
untuk tinggal sendiri saat ini. Kemudian
aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia ,
kerumahku yang dulu. Seminggu aku mengurung diri dirumah itu, masih dalam
suasana berkabung atas kepergian Nick. 28 tahun aku hidup bersamanya dan kini
aku harus menjalani hidupku sendiri untuk slamanya.
Minggu
keduaku di Indonesia
aku mencoba untuk mecari Erga dirumahnya yang dulu. Rumah itu sekarang
ditinggali oleh adik Erga dan istrinya. Saat aku menanyai keberadaan Erga dia
lalu mengantarku kesebuah tempat, Panti jompo. Aku kaget bukan main mengetahui
keberadaan Erga di panti jompo itu.
“
Mengapa dia tinggal disini?” tanyaku kaget.
“
Mas Erga sendiri yang mau disini, saya sudah maksa dia buat tinggal dengan saya
tapi dia enggak pernah mau, mba..”
“
Istrinya?”
“
(menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan keras) semenjak mba
tinggal nikah dan pindah ke luar negri dia enggak pernah mau jatuh cinta mba,
almarhumah ibu udah jodohin dia sama anak teman-temannya tapi dia tolak semua.
Dia bilang dia enggak butuh istri.”
tutur Diega dengan
suara rendah.
Sesampainya
di Panti Jompo itu kedatangan kami disambut oleh seorang suster yang kemudian
mengantarkanku menuju kamar Erga. Kubuka pelan pintunya, ruangan itu penuh
dengan sketsa disemua dindingnya bahkan ada beberapa sketsa yang bertebaran
dilantai kamar itu, kamar ini sudah seperti galeri gagal. Kulihat Erga sedang
duduk diatas kursi rodanya menatap keluar jendela. Hanya ada hamparan rumput
halaman dan beberapa tanaman hijau.
“
Erga..” seruku sambil mendekatinya perlahan.
Dia
berbalik dan menatapku bingung untuk sesaat. Lalu air matanya mengalir dan
buru-buru ia hapus dengan jemarinya yang sudah keriput. Dia melihat buku sketsa
yang sejak tadi kubawa, lalu sebuah senyuman bahagia terlempar dari sudut
bibirnya. Semua sketsa yang ada dikamarnya ini bergambar wajahku ketika masih
muda dulu. Aku duduk disebuah kursi kayu putih disampingnya, dan buru-buru Erga
mengambil pensil dan bukunya, jari-jari tuanya mulai menari diatas kertas itu,
ia membuat sketsa gambar wajahku.
Tak
butuh waktu lama untuk ia menyelesaikan gambarnya yang lalu ia serahkan padaku.
Seketika itu juga pilu menyelimuti sluruh hatiku, air mataku perlahan menetes.
Diusapnya pelan dengan tangannya lalu dia berikan aku sebuah sketsa gambar yang
sudah rapi dan sudah dibingkai yang ia keluarkan dari dalam laci mejanya.
Gambarku mengenakan baju pernikahanku. Aku terdiam untuk sesaat sambil terus
menatap sketsa gambar itu.
“
Erga, apa kau mau menikah denganku sekarang?” tanyaku penuh haru.
“
Diumur yang sudah setua ini? Apa kau bercanda? Bagaimana dengan suamimu? Apa
dia mau istrinya dibagi?”
“
Tidak, aku serius. Nick tlah meninggal beberapa waktu yang lalu.” Ditatapnya
mataku lama dan dalam.
“
Indah.. aku mencintaimu hingga nyawaku terlepas dari ragaku. Dulu aku memang
memimpikan untuk hidup bersamamu namun kini aku tlah terbiasa dengan cintaku
sendiri. Bukankah cinta sudah mencukupi cinta itu sendiri? Sudah 28 tahun aku
memutuskan untuk tak bermimpi lagi namun cinta ini tak pernah selesai, Indah..
tak akan. Buku itu hanya sebagian dari mimpi-mimpiku yang tlah lama kubuang
jauh dan sekarang biarkan aku menjalani hidupku begini dengan terus mencintaimu
seperti ini. Cukup kau slalu ingat padaku dan sempatkan waktumu untuk
berkunjung menemuiku disini, itu semua sudah cukup bagiku. Cintaku memang tak
indah untukmu namun cintaku akan slamanya bersamamu, Indah..”
◊ ◊
◊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar