Selasa, 02 April 2013


SKETSA MERAH

                   Untuk apa kau tetap mencintai seseorang yang kau tahu pasti tak akan pernah membalas cintamu? Atau kau tahu pasti bahwa kalian tak dapat bersama?
◊     ◊     ◊
                  
            Sejak kepindahan rumahku ketika aku baru saja masuk SMP aku telah mengenalnya. Erga, untukku dia adalah sosok sahabat yang tak mungkin pernah tergantikan oleh apapun, berapapun nilai mata uang, atau berapa banyak kemewahan yang dapat kalian suguhkan untukku. Aku mengaguminya dari segala sisi dalam hidupnya, baiknya adalah keberhargaan untukku sedang buruknya adalah kebaikan untukku.
                   Dua hari yang lalu aku mengunjunginya di sebuah panti jompo, dia masih seperti dahulu, tak banyak bicara, selalu menggambar, dan mata itu masih sama seperti dulu saat menatapku, menenangkan.
                   Aku baru tahu bahwa ia mencintaiku ketika kami menginjak kelas dua SMA. Saat itu aku sedang menunggu kepulangannya dari rumah sakit dikamarnya. Duduk diam aku diatas tempat tidurnya hingga mataku tertarik pada tumpukan buku sketsa berwarna merah. Aku tau Erga senang sekali menggambar, namun yang aku tau dia hanya mempunyai satu buku sketsa berwarna hijau yang slalu ia bawa kemana-mana, dan slalu ia ganti bila kertasnya sudah habis.
                   Kubuka lembar pertama buku itu, “ Ketika siutnya angin tak dapat ku rasakan…” tulisan pertama yang ada dilembar pertama dalam buku itu. Lembar kedua, aku melihat sketsa yang sudah sangat rapi, seorang anak SMP berambut pendek yang baru saja pulang dari sekolahnya dengan membawa pot  tanamannya yang terlihat tidak baik-baik saja. Anak kecil itu duduk di dalam kamarnya dengan wajah sedih. Hingga pada lembar-lembar berikutnya, buku itu penuh dengan gambar anak SMP yang sama lalu tak lama ku ambil buku kedua, pada lembar pertamanya bertuliskan “ Episode 2 “ masih penuh dengan gambar anak SMP tersebut hingga buku kelima kubuka. Lembar pertamanya bertuliskan “ Tempat baru untuk bermimpi “. Aku mulai mengerutkan dahiku saat melihat seorang anak SMA sedang berolahraga yang digambarnya, wajahnya masih sama, dan sepertinya aku mengenal orang ini.
Terus kubuka hingga buku kedua belas yang lembarnya bertuliskan “ Untuk sebuah impian ” aku menemukan semua gambar yang sangat indah, mulai dari perempuan yang berpergangan tangan dengan seorang laki-laki menatap cahaya terang didepannya hingga mereka menikah disebuah kebun yang cantik.
                   Saat aku sadar itu semua adalah gambar tentang diriku, aku terkejut. Ternyata slama ini Erga slalu menggambarku dalam berbagai hal. Semua aktivitas yang kujalani. Aku tak pernah sadar, kulihat baik-baik kembali buku yang ada dalam genggamanku itu. Semua buku merah ini menceritakan perjalanan hidupku mulai dari aku SMP hingga aku kelas dua SMA dan masih banyak buku merah kosong lainnya dirak buku-bukunya yang mungkin ia persiapkan untuk kisah selanjutnya.
                   Lalu tiba-tiba Erga merampas buku itu dari tanganku, tatapannya tajam, wajahnya mulai memerah. Aku baru saja akan berdiri untuk bertanya saat dia mengusirku “ KELUAR SEKARANG!!!” dengan lantang. Kubalas tatapannya dengan penuh kebingungan, sekali lagi ia menyuruhku keluar dari kamarnya hingga yang ketiga kalinya ia membukakan pintu kamarnya lalu menunduk menatap kotak-kotak lantai keramik kamarnya. Aku keluar dari kamarnya dengan setengah berlari sambil menyeka air mata. Aku tak menyangka Erga akan sekasar itu padaku.

◊     ◊     ◊
                  
                   Semenjak kejadian hari itu aku dan Erga tak pernah bertegur walaupun di sekolah selama beberapa hari. Hingga hari ke empat ia mendatangiku dikelasku. Menarikku ke pojokan kelas tanpa mau tau aku mau mendengarnya atau berbicara dengannya atau tidak. Hampir tiga menit ia hanya bisa menunduk tak berbicara sedikitpun. Lalu ditariknya nafas panjang.
                   “ Aku tau ini semua salah! Aku hanya tak tau apa yang harus kulakukan ketika yang aku sembunyikan slama ini berhasil kau ketahui. Aku panik, aku takut kau akan pergi, menjauh dari hidupku karna aku takkan pernah bisa terima itu semua, Ndah..”
                   “ Aku yang salah Ga, aku enggak minta izin dulu dan asal liat aja.” Jawabku seraya menunduk.
                   “ Itu semua memang untukmu. Sekarang kau tau semuanya. sebenarnya aku menyiapkan itu semua untuk ulang tahunmu yang ke 17 nanti. Aku, aku-“ ujarnya tergagap berusaha meyakinkanku sambil menggenggam kedua tanganku.
                   “ Aku menyayangimu, walau mungkin sayang kita mempunyai maksud yang berbeda. Kau adalah sahabat terbaikku dan aku tak pernah ingin menyelesaikan persahabatan diantara kita.” Ujarku memotong ucapannya.
                   Suasana seketika berubah menjadi hening.

◊     ◊     ◊
                  
                   Semenjak pembicaraan itu hubungan kami menjadi lebih baik, ia mulai menggambarku terang-terangan, dan tak ada hal yang ia sembunyikan lagi. Ketika aku lulus SMA aku melanjutkan kuliahku di Adelaide University. Selama hampir empat tahun aku tak bertemu Erga dan saat aku kembali  dan masuk kedalam kamarnya aku tak dapat lagi melihat dinding kamarnya, dinding kamar yang dulunya berwarna cream. Semua dinding itu telah tertutup oleh kertas-kertas sketsa yang semuanya adalah wajahku. Selama empat tahun dia hanya bisa menggambarku dari sisa semua ingatannya dan hal yang ia bayangkan untuk dituangkan dalam bentuk gambar tentang kegiatanku. Kebanyakan sketsa itu hanya berupa wajahku dari berbagai sisi.
                   Dua bulan setelah kepulangnku ke Indonesia aku menikah dengan teman kuliahku saat di Adelaide, Nick Saddler. Setelah pernikahanku aku tinggal di Indonesia selama kurang lebih satu minggu, slama itu aku tak pernah berjumpa dengan Erga, sempat aku mendatangi rumahnya untuk berpamitan sebelum kepindahanku ke Adelaide karna Nick memintaku untuk menetap di sana, namun Erga tak berhasil kutemui. Ibunya mengatakan padaku sepeninggal pernikahanku  Erga memutuskan untuk tinggal bersama neneknya di Sleman, Jogjakarta. Sempat terbesit perasaan bersalah dalam hatiku namun aku memang tak mungkin membalas cintanya. Terakhir aku bertemu dengannya saat hari pernikahanku. Ia datang sembari memberikanku Lily putih dan kado yang berisi dua buah mug berwarna merah.
                   Ibunya memberikanku sebuah buku sketsa milik Erga yang lembar pertamanya bertuliskan “ Untuk sebuah impian“ buku sketsa kedua belas miliknya yang sengaja ia tinggal ketika memutuskan untuk tinggal di Sleman. Lewat buku itu baru kupahami benar tentang isi  hati Erga yang sesungguhnya dan betapa begitu indah impiannya untuk hidup bersamaku. Kubawa buku itu menuju rumah baruku di Adelaide dan aku berjanji akan slalu menjaga buku itu.

◊     ◊     ◊

                   28  tahun sudah aku membangun bahtera rumah tangga bersama Nick dan aku sudah pula dianugrahi dua malaikat kecilku, Fergie dan Chole Saddler. Umur mereka kini telah memasuki usia 27 tahun dan 20 tahun. Anak pertamaku, Fergie baru saja menikah dengan seorang pria berkebangsaan Italia dan ia memilih untuk tinggal di Madrid. Sedang Chole lebih memilih untuk tinggal sendiri di aparttemennya. Aku tinggal berdua dengan Nick dirumah dan setiap hari kecuali weekend dia meninggalkanku dirumah sendirian hingga pukul delapan malam atau kadang lebih malam lagi untuk bekerja dikantornya. Karna kesepian aku selalu menyibukkan diriku untuk mengajar les ballet dulu namun kini setelah aku merasa cukup tua aku hanya menyibukkan diriku untuk merawat tanaman-tanaman kaktus dan beberapa jenis bunga lainnya di rumah kaca yang Nick buat khusus untukku.
                   Pagi itu memasuki minggu kedua di bulan Desember. Salju yang turun semakin tebal saja, kemarin malam saja sempat terjadi badai salju dan pagi ini banyak jalan yang ditutupi salju dan tak bisa dilewati. Suhu dipagi ini hampir mencapai -12°C. Pukul delapan lebih lima belas menit Nick mengecup keningku hangat, rutinitas biasa yang dilakukannya sebelum dia pergi kekantornya. Namun ciumannya kali ini terasa berbeda dan sedikit lama, dibelainya rambutku yang mulai memutih itu lembut.
                   “ I have to go now.” Ujarnya sembari melepaskan genggaman tangannya dari tangnku.
                   “ Be carefull, honey. I love you.”
                   “ I love you so much.” Balasnya lalu masuk kedalam Odessy ungu miliknya.
                   Pukul sembilan lebih empat puluh menit malam waktu Adelaide, Nick belum juga kembali kerumah, biasanya bila ia lembur ia slalu memberitahuku terlebih dahulu. Aku mulai mencemaskannya. Kutelpon handphonenya namun tak aktif. Pukul sepuluh malam waktu Adelaide, kepolisian mendatangi rumahku dan memintaku untuk kerumah sakit centre Adelaide. Sesampainya disana aku melihat Nick sudah terbujur kaku tak bernyawa. Menurut kepolisian yang memberitahuku Nick meninggal akibat kecelakaan di salah satu jalan karna ban depannya slip saat sedang mengerem dan akhirnya terlempar ke pembatas jalan. Tulang rusuknya remuk akibat membentur stang mobilnya. Nick mengalami pendarahan yang cukup serius di bagian otak.
                   Sudah dua bulan Nick meninggal namun aku masih begitu terpukul atas kepergian Nick. Fergie memintaku untuk tinggal bersamanya di Madrid begitu juga dengan Chole yang menawarkanku untuk tinggal bersamanya di apartmentnya yang berada di Sydney namun kutolak semua penawaran itu. Aku memilih untuk tinggal sendiri saat ini.  Kemudian aku memutuskan untuk pulang ke Indonesia, kerumahku yang dulu. Seminggu aku mengurung diri dirumah itu, masih dalam suasana berkabung atas kepergian Nick. 28 tahun aku hidup bersamanya dan kini aku harus menjalani hidupku sendiri untuk slamanya.
                   Minggu keduaku di Indonesia aku mencoba untuk mecari Erga dirumahnya yang dulu. Rumah itu sekarang ditinggali oleh adik Erga dan istrinya. Saat aku menanyai keberadaan Erga dia lalu mengantarku kesebuah tempat, Panti jompo. Aku kaget bukan main mengetahui keberadaan Erga di panti jompo itu.
                   “ Mengapa dia tinggal disini?” tanyaku kaget.
                   “ Mas Erga sendiri yang mau disini, saya sudah maksa dia buat tinggal dengan saya tapi dia enggak pernah mau, mba..”
                   “ Istrinya?”
                   “ (menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan keras) semenjak mba tinggal nikah dan pindah ke luar negri dia enggak pernah mau jatuh cinta mba, almarhumah ibu udah jodohin dia sama anak teman-temannya tapi dia tolak semua. Dia bilang dia enggak butuh istri.”  tutur Diega dengan suara rendah.
                   Sesampainya di Panti Jompo itu kedatangan kami disambut oleh seorang suster yang kemudian mengantarkanku menuju kamar Erga. Kubuka pelan pintunya, ruangan itu penuh dengan sketsa disemua dindingnya bahkan ada beberapa sketsa yang bertebaran dilantai kamar itu, kamar ini sudah seperti galeri gagal. Kulihat Erga sedang duduk diatas kursi rodanya menatap keluar jendela. Hanya ada hamparan rumput halaman dan beberapa tanaman hijau.
                   “ Erga..” seruku sambil mendekatinya perlahan.
                   Dia berbalik dan menatapku bingung untuk sesaat. Lalu air matanya mengalir dan buru-buru ia hapus dengan jemarinya yang sudah keriput. Dia melihat buku sketsa yang sejak tadi kubawa, lalu sebuah senyuman bahagia terlempar dari sudut bibirnya. Semua sketsa yang ada dikamarnya ini bergambar wajahku ketika masih muda dulu. Aku duduk disebuah kursi kayu putih disampingnya, dan buru-buru Erga mengambil pensil dan bukunya, jari-jari tuanya mulai menari diatas kertas itu, ia membuat sketsa gambar wajahku.
                   Tak butuh waktu lama untuk ia menyelesaikan gambarnya yang lalu ia serahkan padaku. Seketika itu juga pilu menyelimuti sluruh hatiku, air mataku perlahan menetes. Diusapnya pelan dengan tangannya lalu dia berikan aku sebuah sketsa gambar yang sudah rapi dan sudah dibingkai yang ia keluarkan dari dalam laci mejanya. Gambarku mengenakan baju pernikahanku. Aku terdiam untuk sesaat sambil terus menatap sketsa gambar itu.
                   “ Erga, apa kau mau menikah denganku sekarang?” tanyaku penuh haru.
                   “ Diumur yang sudah setua ini? Apa kau bercanda? Bagaimana dengan suamimu? Apa dia mau istrinya dibagi?”
                   “ Tidak, aku serius. Nick tlah meninggal beberapa waktu yang lalu.” Ditatapnya mataku lama dan dalam.
                   “ Indah.. aku mencintaimu hingga nyawaku terlepas dari ragaku. Dulu aku memang memimpikan untuk hidup bersamamu namun kini aku tlah terbiasa dengan cintaku sendiri. Bukankah cinta sudah mencukupi cinta itu sendiri? Sudah 28 tahun aku memutuskan untuk tak bermimpi lagi namun cinta ini tak pernah selesai, Indah.. tak akan. Buku itu hanya sebagian dari mimpi-mimpiku yang tlah lama kubuang jauh dan sekarang biarkan aku menjalani hidupku begini dengan terus mencintaimu seperti ini. Cukup kau slalu ingat padaku dan sempatkan waktumu untuk berkunjung menemuiku disini, itu semua sudah cukup bagiku. Cintaku memang tak indah untukmu namun cintaku akan slamanya bersamamu, Indah..”     

◊     ◊     ◊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar