Senja di Kotaku
Di
suatu sore seorang wanita berambut hitam pekat dengan jaket tebal melapisi
badannya, datang ke sudut kota. Ia mulai duduk di kursi yang menghadap langit sebelah
barat. Wanita berambut hitam pekat itu mulai duduk tenang di rumahnya, menanti
senja muncul dihadapannya. Wanita berambut hitam pekat itu selalu datang ke
sudut kota setiap hari untuk menunggu senja dan baru akan pulang dari rumahnya
saat malam menjelang. Sambil menunggu senja tangannya yang mungil melipat-lipat
kertas yang ia dapat dari dalam tasnnya. Wanita berambut hitam pekat itu membuat
burung dari kertas-kertas sambil terus menatap langit.
Di
sudut kota ini, pada bangku yang mengarah ke langit barat wanita berambut hitam
pekat itu merasa sangat nyaman. Ia merasa dirinya begitu dicintai, untuk itu ia
selalu kembali setiap sore untuk menunggu senja di rumahnya. Rumah yang bisa
membuatnya nyaman, rumah yang membuat ia merasa dicintai, dilindungi, dan berharga
serta rumah yang selalu bisa ia datangi.
Suatu
hari seorang laki-laki berusia sekitar 40an menggunakan baju putih datang
menghampirinya. Laki-laki yang berpenampilan sangat rapi dan bersih itu duduk
di sebelahnya sambil mencoba melihat apa yang dilihat wanita berambut hitam
pekat itu. Lama ia duduk di sana, melihat langit yang sama namun tak menemukan
apa yang dilihat wanita berambut hitam pekat itu.
“apa
yang tiap hari kau lakukan di sini?” tanya laki-laki itu membuka pembicaraan di
antara mereka. Suaranya lembut dan begitu berwibawa.
“menanti
senja.” Jawab wanita berambut hitam pekat itu samar, bahkan hampir tanpa suara.
“apa
kau tidak bosan setiap hari hanya duduk di sini menanti senja lalu setelah itu
pergi? Apa yang kau harap setiap kali melihat senja datang?” tanya laki-laki
itu penasaran.
“entahlah.
Tapi seseorang pernah berjanji padaku bahwa ia akan kembali di suatu senja.”
Jawab wanita berambut hitam pekat itu sambil tersenyum melihat senjanya
perlahan mulai tampak.
Hari
berikutnya, saat wanita berambut hitam pekat itu kembali duduk di rumahnya
untuk menunggu senja seorang wanita paruh baya menghampirinya. Wanita itu duduk
di sebelahnya, lama ia terdiam menatap wanita berambut hitam pekat itu tanpa
tau apa yang harus ia lakukan untuk menarik perhatiannya.
“kau
sedang apa nak?” tanya wanita paruh baya itu dengan suara bergetar.
“menunggu
senja.” Jawab wanita berambut hitam pekat tanpa menoleh.
“ada
apa dengan senja?” tanya wanita paruh baya itu lagi.
“ada
seseorang yang berjanji akan kembali di suatu senja, tapi entah senja yang
mana.” Jawab wanita berambut hitam pekat sambil terus melipat-lipat kertas
ditangannya masih tanpa menoleh.
***
Tanpa
kenal lelah, wanita berambut hitam pekat itu selalu datang setiap sore ke sudut
kota, duduk di bangku yang sama setiap kalinya, dan selalu pulang saat malam
mulai menyergap kota perlahan. Pernah suatu kali ia duduk hingga malam dengan
wajah cemas dan bibir yang pucat.
“mengapa
yang indah selalu hadir begitu singkat? Senja indah, tapi malam dengan egoisnya
hanya memberinya waktu sebentar untuk keluar. Mengapa tak lebih lama? Sebentar
saja, agar aku bisa menunggu lebih lama lagi. Kau, kau mau pulang lewat mana?
Aku selalu di sini menantimu di setiap senja. Kau, kau pergi ke mana? Mengapa
begitu lama?” gumam wanita berambut hitam pekat itu dalam hati.
Keesokan
harinya wanita berambut hitam pekat itu disapa oleh seorang wanita muda yang
cantik. Wanita itu dengan percaya diri datang menghampiri wanita berambut hitam
pekat lalu mengajaknya bicara.
“hei,
kau sedang apa di sini?” tanya wanita cantik yang memiliki mata yang begitu
indah.
“menanti
senja.” Jawab wanita berambut hitam pekat datar.
“seorang
diri?”
“memangnya
kau melihat ada siapa lagi?” jawab wanita berambut hitam pekat mulai tak
senang.
“(tertawa
kecil) iya kau benar. Kau tak bosan setiap hari ke sini?”
“tidak.”
“apa
yang membuatmu tidak bosan? Setiap senja selalu samakan?”
“kau
sendiri? Apa kau tidak bosan setiap hari selalu memandangiku dari kejauhan?”
tanya wanita berambut hitam pekat mengagetkan wanita bermata indah itu.
“kau
tau dari mana aku selalu memerhatikanmu setiap hari?” tanya wanita bermata
indah penasaran.
“mengapa
kau kemari dan mencari tau kepentinganku di sini?”
“karna
aku pikir kau wanita yang baik.” Jawab wanita bermata indah dengan senyum manis
di bibirnya. Mendengar jawaban wanita bermata indah itu wanita berambut hitam
pekat mendelik tajam ke arahnya.
“iya,
aku bicara jujur. Kau... terlihat baik. Yah setidaknya kau terlihat cukup
tenang.” Jawab wanita bermata indah gugup. Jawabannya kali ini ditanggapi
serius oleh wanita berambut hitam pekat yang mulai menatapnya dengan tatapan
tak senang. Tatapan itu membuat wanita bermata indah seolah sedang diancam, ia
mulai sedikit takut dan ragu dengan opininya barusan.
“baiklah.
Mungkin karena mereka bilang kau gila tapi aku melihat sesuatu yang beda
darimu, kau tidak gila. Kau hanya kesepian.” Ujar wanita bermata indah itu hati-hati
setelah menyerah karena ditodong dengan tatapan tajam.
“kau
pergilah. Jangan ganggu aku, cari senjamu sendiri sana!” usir wanita berambut
hitam pekat.
Suatu
hari wanita berambut hitam pekat tak datang untuk menunggu senja. Semua orang
merasa mulai ada harapan. Tapi ternyata keesokan harinya wanita berambut hitam
pekat itu kembali muncul di sudut kota dan duduk untuk menanti senja di bangku
yang sama.
***
Wanita
bermata indah itu menghempaskan bokongnya di kursi sambil mendengus keras. Ia
mengelap keringat dingin yang ada didahinya.
“kenapa
kau?” tanya seorang kawannya sambil merapikan map-map di atas meja.
“wanita
itu..” jawab wanita bermata indah sambil bersandar. “dia kembali menunggu
senja.”
“sudah
ku bilang, dia tak akan sembuh.” Sahut wanita berhidung besar sambil terkekeh.
“wanita itu sudah hampir 5 tahun menderita dilusional, mana ada harapan untuk
kembali normal seperti yang kau bilang.” Tambahnya dengan senyum penuh
kemenangan.
“entahlah..
aku hanya kasihan padanya. Ia cantik, muda, dan..”
“dan
dilusional.” Sambar wanita berhidung besar seperti jambu itu kemudian tertawa.
“ini, coba kau lihat sendiri.” Ujar wanita berhidung besar sembari menyerahkan
selembar kertas untuk dibaca oleh wanita bermata indah. “dulu kami semua dan
Dr. Toni memang sempat mengira dia bisa sembuh ia sempat beberapa kali terlihat
normal dan bisa berkomunikasi dengan kita layaknya manusia normal. Ia bilang ia
menyesali semuanya, bahkan ia bisa menjawab semua pertanyaan yang kami ajukan
dengan jujur, tapi ternyata perkiraan kita salah. Kadang, aku juga kasihan
melihat ibunya yang selalu datang untuk menengoknya itu.” Lanjut wanita itu
sambil memasukkan map-map ke dalam lemari sementara wanita bermata indah itu
mulai membaca kertas yang ada ditangannya.
DAFTAR
RIWAYAT PASIEN RUMAH SAKIT JIWA “SUDUT KOTA”
Nama : Embun
Usia : 33 tahun
Diagnosis penyakit : Dilusional
Keterangan : - Pasien sudah 5 tahun
menderita dilusional.
- Masuk pertama kali karena kasus pembunuhan yang
menewaskan suami serta anaknya pada 23 September 2009 lalu di rumahnya sendiri
Jl. Kenangan, 16 pukul 17.27
- Pasien dinyatakan berbahaya karena dapat melukai siapapun yang ada di dekatnya secara
tiba-tiba dan melukai dirinya sendiri.
***
23 September 2013
Wanita
berambut hitam pekat itu seperti biasanya duduk di sudut kota untuk menanti
senja dengan penuh harapan namun malam terlanjur berganti. Baru saja wanita
berambut hitam pekat itu bangkit dari duduknya untuk segera pergi saat
tiba-tiba seorang laki-laki memeluknya hangat dari belakang.
“aku
telah kembali, maaf aku sedikit terlambat hingga membuatmu begitu lama
menunggu....” ujar laki-laki yang selama ini selalu dinanti oleh wanita
berambut hitam pekat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar