Minggu, 19 Juni 2011

INI ANGELINA JOLLIE BUKAN SITI NURBAYA


INI ANGELINA JOLLIE BUKAN SITI NURBAYA

                Memang benar cinta itu datang dengan sendirinya dan cinta itu ada karna terbiasa. Cinta memang mebingungkan, terkadang  kita harus meluangkan sebagian logika kita untuk berpikir, cinta memberi kita waktu untuk mengartikan perasaan itu sendiri dan memang cinta tak bisa berbohong. Cinta adalah cinta yang sampai kapanpun akan tetap menjadi cinta yang tak terangkai dalam kata-kata sebab cinta hanyalah sebuah perasaan yang menginginkan kau untuk merasakannya bukan menjabarkannya.

* * *

                Janis terduduk dibangku yang tersedia dipinggir lapangan basket sekolahnya. Sambil mengipas-ngipaskan bajunya dan sesekali mengelap keringatnya. Sore itu begitu panas, padahal sudah jam lima sore tapi mataharinya seperti masih jam dua siang. Janis merenggangkan otot-otot tangannya kedepan, keatas, dan kebawah. Sebuah tangan menyodorkan sebotol air kedepan wajahnya. Janis meliriknya lalu mengambil botol itu dan meminum air yang ada didalamnya. Kerongkongan Janis akhirnya terbasahi juga.
                “ Apa sih yang lo nikmatin dari perkusi itu selain capek?” tanya laki-laki yang kurang lebih sepantaran dengan Janis. Janis hanya meliriknya sebentar lalu menghembuskan nafas dan meninggalkannya begitu saja, kembali ke kelompok perkusinya yang sedang latihan.
                Laki-laki itu tak lepas memandang Janis, dimatanya Janis adalah sosok wanita yang berbeda dari wanita yang lainnya, dia menyimpan banyak kekaguman pada diri Janis. Janis terus memukul-mukul drum plastik yang ada didepannya sambil tertawa lepas. Janis begitu menikmati alunan melodi yang berdentum dari setiap alat-alat perkusi itu. Ketua kelompok perkusi itu tak lama menyuruh yang lainnya untuk duduk dan dalam beberapa menit latihan rutin itu dibubarkan.
                Janis mengambil tas sambil berlalu begitu saja yang tergeletak disebelah laki-laki yang sejak tadi menungguinya. Dengan cepat laki-laki itu mengejarnya dan menarik lengannya. Janis berbalik dan melihat kearah laki-laki itu dengan tatapan dingin.
                “ Lo mau pulang sama siapa?” tanya laki-laki itu.
                “ Lo enggak kenal yang namanya angkot ya?” jawab janis sambil melepaskan tangannya dari genggaman laki-laki itu dan berjalan meninggalkannya. Sekali lagi laki-laki itu menarik tangnnya, kali ini ia memegang tangan Janis lebih erat.
                “ Lepasin enggak, sakit tau!” bentak Janis sambil berusaha melepaskan tangannya.
                “ Gue enggak bakal biarin lo pulang sendiri. Lo mesti pulang sama gue.”
                “ Gue enggak mau!”
                “ Gue bilang LO MESTI BALIK SAMA GUE, TITIK.”
                Mereka tak mempedulikan anggota kelompok perkusi lainnya yang sejak tadi menjadikan mereka berdua sebagai objek tontonan yang menarik. Masing-masing dari mereka sibuk mempertanyakan apa yang sedang terjadi antara Janis dan laki-laki itu. Apa mereka sedang berantem? Atau mereka akan putus? Dan masih banyak atau-atau yang lainnya..
                “ Kenapa sih lo enggak mau pulang sama gue? Apa lo enggak peduli sama gue yang udah nungguin lo latihan berjam-jam? Gue tuh capek nungguin lo, buang-buang waktu aja sementara elonya enggak pernah ngehargain gue.”
                “ Denger ya, gue enggak pernah minta lo datang buat nungguin gue. Lo kalo ngomong ati-ati! Lonya aja yang kemauan nungguin gue berjam-jam. Lepasin enggak tangan gue.”
                “ Gue enggak bakal lepasin kalo lo enggak mau pulang sama gue.” Laki-laki itu semakin memperkuat genggamannya.
                “ Yoga sakit!” rintih Janis menahan sakit.
                “ Bilang dulu lo mau pulang sama gue.” Matanya tajam menatap Janis.
                “ Ok (setengah berteriak) gue pulang sama lo, PUASkan lo!?” bentak Janis sambil menghempaskan tangannya dan berhasil.
                Turun dari C-RV ungu gelap itu Janis membanting pintu mobil dan masuk kedalam rumahnya dengan gusar. Maminya yang keluar mendengar dobrakan pintu rumah cepat-cepat keluar untuk melihat siapa yang datang dengan tidak sopan seperti itu. Janis melangkah cepat melewati maminya begitu saja yang memasang tampang bingung melihat Janis dan Yoga yang berjalan pelan mengikuti dari belakang. Janis trus berjalan tanpa jeda menuju lantai dua dan masuk kedalam kamarnya yang sebelumnya ia banting sekali lagi pintu kamarnya itu dengan sangat keras hingga terdengar sampai kebawah, tempat maminya dan Yoga berdiri mematung melihat tingkah Janis.
                “ Ituh anak kenapa lagi? Anak tante kamu apain sampai kayak gitu, Ga?” tanya mami penasaran
                “ Enggak diapa-apain kok te, dianya aja tuh yang lagi sensi sama Yoga enggak tau kenapa. PMS kali.”
                “ Ya udah, biarin aja dia emang kayak gitukan dari kecil. Makasih ya udah nganterin Janis pulang.” Ujar mami sambil tersenyum ramah
                “ (membalas senyuman mami Janis) sama-sama,te..”
                “ Kamu mau masuk dulu enggak, ikut makan malam, mau ya..” buju mami Janis.
                “ Kayaknya enggak deh malam ini, biarin Janisnya tenang dulu. Yoga enggak mau ngerusak mood makan malamnya, ntar dia sakit lagi.”
                “ Kamu memang anak baik, paling ngerti Janis. Enggak salah tante sama mama kamu ngejodohin kamu sama Janis. Ya udah deh kalo gitu, tapi maafin anak tante ya..”
                “ Pasti, te. Yoga permisi pamit pulang dulu, sore te..”
                “ Hati-hati, ga..” melambaikan tangan ke Yoga.
                Setelah menutup pintu mami Janis naik keatas dan mengetuk pintu kamar Janis. “ Sayang, kamu kenapa? Kamu kok jahat sih sama Yoga?”
                “ Mami tuh yang jahat sama Janis, jelas-jelas Janis enggak pernah setuju sama perjodohan antara Janis sama Yoga yang mami buat sama papi sama keluarganya Yoga. Janis bosen mi, kemana-mana mesti sama dia sampai latihan aja mesti ditungguin sama dia. Janis enggak bebas mi, Janis juga butuh waktu buat sendiri, sama teman-teman Janis bukan sama Yoga terus tiap hari.”
                “ Ya tapi kamu enggak boleh kasar gitu dong sama dia, mamikan jadi enggak enak. Lagian kayak begitukan lebih aman ketimbang kamu mesti pergi sendirian atau sama temen-temen kamu yang enggak jelas itu.”
                “ Mami egois! Mami cuman mikirin perasaan mami tapi mami enggak pernah mau mikirin gimana perasaan Janis! Ini tuh udah jamannya Angelina Jollie mi bukan Siti Nurbaya lagi, pokoknya Janis nolak sampai kapanpun perjodohan ini, TITIK!!” teriak Janis dari dalam kamar.
                “ Janis sayang, kamu..-“
                “ Udah deh mi, Janis capek, Janis mau istirahat!” potong Janis cepat.
                Mendengar itu maminya hanya bisa menghembuskan nafas dan kemabli turun kebawah. Sementara itu didalam kamar Janis tak henti-hentinya memukul-mukul bantal dengan tangannya setelah lelah ia akhirnya tertidur dalam kemarahannya. Janis melewati makan malam bersama keluarganya, ia baru bangun pukul setengah sembilan malam. Bangun tidur Janis menyempatkan diri untuk mandi lalu ia memutuskan untuk tetap didalam kamarnya. Ia tak ingin bertemu dengan maminya saat ini, ia masih kesal mengingat ucapan maminya tadi. Saat tengah mendengarkan lagu sambil berbaring tiba-tiba pintu kamarnya diketok. Janis mendenguskan nafasnya, pasti mami pikirnya dalam hati. Dibiarkannya ketokan pintu itu hingga yang ketiga kalinya.
                “ Kak Janis, ini aku, Cendy..” terdengar suara dari balik pintu sambil terus mengetuk pintu kamarnya. Janis bangkit dari kasurnya lalu membukakan pintu untuk adiknya.
                Setelah membukakan pintu, Janis duduk dibalkon kamarnya yang menghadap ketaman belakang rumahnya. Ia membiarkan semilir angin membuat rambut basahnya berantakan. Ia terus duduk tanpa memperdulikan adiknya. Cendy berjalan mendekati kakanya itu lalu berdiri merapat ke pintu kaca yang menjadi pembatas antara kamar Janis dan balkon luar kamarnya. Janis memandangnya sekilas lalu kembali melanjutkan aktifitas memandang langit malam yang hanya ada beberapa bintang.
                “ Kak Janis kenapa?”
                “ Enggak kenapa-kenapa.” Jawabnya singkat.
                “ Kok enggak ikut makan malam tadi? Kakak sakit?”
                “ Enggak kok. Kamu ngapain kesini?”
                “ Tadi mami nyuruh Cendy ngantarin makan malam buat kak Janis, makanannya Cendy taroh diatas meja belajar kakak. Kakak berantem ya sama kak Yoga?”
                “ Enggak kok.”
                “ Kok jawabannya enggak terus, kak?”
                “ Ya memang jawaban dari semua pertanyaan kamu enggak.”
                “ Kenapa sih kakak enggak suka sama kak Yoga? Padahalkan kak Yoga baik, sering beliin Cendy permen, coklat, boneka, terus kemarin kak Yoga beliin Cendy barbie. Barbienya cantik banget.”
                “ Kamu tuh masih kecil, Cendy.. kalo kakak ceritaiin kamu juga enggak bakalan ngerti. Cendy duduk disini deh (Cendypun duduk dipangkuannya) Cendy itu enggak boleh sering-sering terima barang dari orang asing.”
                “ Tapi kak Yogakan bukan orang asing, kak..”
                “ Iya kakak tau, cendy sayang enggak sama kak Janis?”
                “ Sayang.”
                “ Kalo sayang, Cendy harus nurut sama kak Janis. Cendy enggak boleh lagi ya minta-minta atau terima pemberian dari kak Yoga!
                “ Iya deh. Cendy janji.” Jawab anak berusia empat setengah tahun itu tanpa banyak tanya.
               
* * *

                Seperti biasanya Yoga menjemput Janis untuk mengantarnya kesekolah. Janis sengaja memasang earphone dan memutar lagu lewat handphonenya agar ia tak dapat mendengar celotehan Yoga pagi ini. Sesampainya disekolah saat Janis turun dari mobilnya Yoga memanggilnya. “ Jangan kemana-mana, pulangnya gue yang jemput lagi.”
                Janis sama sekali tak menghiraukan Yoga, sedang Tami teman akrab Janis dikelas yang tak sengaja berpapasan dengannya malah menyapanya ramah. “ Pagi kak Yoga.” Sapanya ramah.
                “ Pagi juga (membalas senyum Tami) Mi, tolong jagain Janis ya disekolah. Kalo ada apa-apa kamu bisa sms aku, ok?”
                “ Siap kak!” Jawab Tami sembari melempar senyum.
                “ Ok, makasih ya.. aku pulang dulu.” Tami melambaikan tangannya seiring naiknya kaca jendela mobil Yoga.
                Sementara itu Janis sejak tadi hanya berdiri menunggu Tami sambil terus ngedumel didalam hatinya. Setelah mobil itu menghilang dari pandangan Tami barulah Tami kembali pada dunianya bersama Janis yang sejak tadi kesal menunggunya. Tami lalu menarik tangan Janis, mengajaknya menuju kelas dengan segera karna dalam lima menit bel akan segera berbunyi. Sampai dikelas.
                “ Nis, lo kenapa sih enggak mau sama Yoga? Apa coba kurangnya dia? Yoga itu udah cakep, manis, putih, tinggi, baik, perhatian sama lo, kaya, pake mobil, calon dokter lagi, duh.. dia tuh nyaris perfect. Lo kenapa sih enggak mau sama dia? Atau jangan-jangan lo lesbi ya? Ikh..” tanya Tami bergidik.
                “ Gila lo! Enak aja ngomong sembarangan, gue normal kali.”
                “ Habis, masak sih sedikitpun lo enggak tergoda sama ketampanan dan kemapanan Yoga?”
                “ Dia tuh freek!”
                “ Maksud lo?” dengan segera Tami langsung memasang tampang bingung.
                “ Iya, gue enggak ngerti sama sifatnya dia. Kadang dia tuh baik banget sama gue, kayak yang tadi lo bilang itu, pengertian, lembut, romantis tapi kadangnya lagi dia tuh nyebelin banget, asli suka gedek sendiri gue dibuatnya! Masak kemana-mana gue mesti laporan dulu sama dia. Kayak latihan kemaren gue enggak ada ngabarin dia kalo gue mau latihan ekh dia nyamperin gue kesekolah, nungguin lagi. BT! Tadi aja didalam mobil dia ngebahas itu, ngomel mulu sepanjang jalan, gimana enggak kesel gue dibuatnya!”
                “ Itukan artinya dia sayang sama lo, Nis..”
                “ Mi, kalo sayang enggak ngekang artinya, ngerti lo?!” Tami hanya mengangguk sambil melanjutkan catatannya. Dia berpikir tak ada gunanya berdebat dengan Janis, bakaln makan hati malah karna Janis enggak mau kalah kalo udah berdebat.
                Pulang sekolah Yoga tlah menunggunya didepan sekolah, segera saja Janis masuk kedalam mobil C-RV itu dengan malas. Mereka saling diam dalam perjalanan sampai Yoga menjalankan mobilnya kearah yang bukan merupakan jalan pulang menuju rumah Janis. Janis melirik Yoga sebentar yang keliatan begitu tenang mengendarai mobilnya, matanya fokus kejalan.
                “ Lo mau bawa gue kemana?” tanya Janis sambil memutar CD milik Lady Gaga yang sesaat kemudian membuat suasana hening didalam mobil menjadi sedikit riuh. Yoga melirik Janis sambil tersenyum tanpa menjawab pertanyaan yang ditanyakan Janis padanya. Janis hanya mendengus kesal. Dan akhirnya mobil C-RV itu berbelok ke sebuah  halaman resto dan memarkirkan mobilnya. Yoga cepat keluar dari mobilnya dan segera membukakan pintu untuk Janis. Janis masih duduk didalam mobil dengan raut wajah bingung melihat tingkah Yoga.
                “ Enggak pernah-pernah lo bukain gue pintu?” ujar Janis sambil turun dari mobil Yoga. Yoga hanya mejawabnya dengan senyuman.
                Mereka masuk kedalam resto yang bernuansa serba hijau, sejauh mata memandang mereka banyak melihat aksesoris berbentuk melon. Kursi yang bentuknya seperti melon, mejanya, lampu, dan masih banyak perabotan lainnya yang berbentuk melon. Mereka memilih duduk di meja bernomor 22. Tak lama seorang pelayan wanitapun datang dengan menggunakan clemek sepinggang bergambar melon dan mengantarkan menu yang bergambar melon serta pulpen yang tak ketinggalan beraksesoris melon.
                “ Silahkan, mau pesan apa?” tanya pelayan itu ramah.
                “ Yang punya restoran ini suka banget ya sama buah melon?” tanya Janis iseng.
                “ Sepertinya begitu, mba..” jawab wanita itu ramah.
                “ Maniak banget, untung mba enggak disuruh pake seragam melon yang gede itu, kalo iyakan bisa repot.” Ceplos Janis sambil tertawa. Dia lalu membayangngkan semua pegawai di resto ini mengenakan seragam buah melon dan berjalan sambil mengantar makanan. Yoga ikut tersenyum melihat tingkah usil Janis.
                “ Nasi goreng melonnya satu sama gunung volcano melonnya satu.” Pesan Yoga sambil menyerahkan daftar menu pada pelayan itu.
                “ Ha?? Menu apaan tuh? (cepat-cepat melihat daftar menu) Gilllaa… semuanya berbau melon, daftar minumannya juga. Wah ajaib nih tempat, ck.ck.ck.. mba, Sensasi Kaget Melon tuh minuman apaan?”
                “ Oh, itu air melon dengan potongan buah melon yang dicampurkan air jeruk nipis dan ditambahkan potongan puding melon yang didalamnya terdapat butiran jeruk kecil (jeruk peres).” Jelas pelayan itu ramah.
                “ Ooh.. Ga, yang lo pesen enak enggak?” tanya Janis polos.
                “ Tergantung kesukaan orang. Kalo suka ya enak tapi kalo enggak-“ melanjutkan kalimatnya dengan mengangkat kedua bahunya.
                “ Samaiin aja deh, bingung!” jawab Janis lalu menyerahkan daftar menunya.
                “ Kalo begitu nasi goreng melonnya 2 dan es gunung volcano melonnya 2 juga yah.. baik, pesanannya akan segera kami antarkan.” Ujar pelayan itu sambil berlalu.
                “ Lo ngapain bawa gue kesini?”
                “ Ya ngajakin lo makan lah, masak nyari buku. Lo suka enggak tempatnya?”
                “ Suka sih, tapi rada aneh gitu.. lo tau tempat ini dari mana sih?”
                “ Yang punya resto ini nyokapnya teman gue. Baru dua hari yang lalu grand openingnya. Mmm.. Nis, gue mau minta maaf sama lo.”
                “ Buat?”
                “ Buat kemarin. Gue enggak ada niat bikin tangan lo sakit, gue cuman kesel aja kemarin terus kelepasan jadinya kayak gitu deh. Tangan lo udah enggak apa-apa kan?”
                “ Pantesan lo ngajak gue kesini, ada udang dibalik batu ternyata. Jadi lo mau nyogok gue supaya maafin lo gitu? Enak aja, enggak mempan! Lo enggak liat lengan gue sampe biru kayak gini?”
                “ Kalo lo enggak mau maafin gue juga enggak apa-apa, gue enggak bisa maksa.”
                 Whaaatt?? Segitu aja? Cemen banget sih lo.” Ujar Janis kesal. Tak lama Yoga mengeluarkan kotak merah kecil dan menyerahkannya kepada Janis. “ Apaan nih?” tanya Janis bingung.
                “ Buka aja sendiri.” Janis membuka kotak itu. Isinya sebuah kantong kecil berwarna coklat emas yang diikat dengan tali tambang kecil. Janis mengangkat kantong kecil itu dan menggoyangkannya tak lama mengalunlah dentingan piano merdu yang menenangkan selama tiga puluh detik lamanya.
                “ Tadi malam, gue kepasar malam dengan teman gue terus dia minta diramal gitu sama ibu-ibu, enggak lama peramal itu ngasiin itu ke gue. Dia bilang itu jimat keberuntungan, dan gue pikir karna lo suka musik jadi gue kasi itu ke lo! Simpen yah..” jelasnya panjang lebar sambil melempar sebuah senyuman.
               
* * *

                Janis sedang latihan perkusi disekolahnya, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Kelompok perkusi itupun lalu berlari menuju musholla sekolah dan berteduh disana. Janis duduk meringkuk kedinginan di pojokan musholla. Lalu Jerry menghampirinya dan memberinya jaket. Jerry duduk disebelah Janis dan mengeluarkan DVD  dari dalam tasnya yang dipinjamnya beberapa hari yang lalu.
                “ Tumben cowok lo enggak ikut nungguin?” tanya Jerry membuka percakapan diantara mereka.
                “ Cowok gue? Yang mana?”
                “ Yang pake mobil itu terus yang sering nungguin lo latihan?”
                “ Yoga maksudnya?”
                “ Gue enggak tau namanya.”
                “ Dia bukan cowok gue kali.”
                “ Masak sih? Kalo emang bukan kenapa dia selalu nungguin lo latihan?”
                “ Enggak tau. Gue itu udah lama banget kenal dia dan keluarga kita juga udah akrab, mami punya rencana basi mau ngejodohin gue sama dia dan masing-masing keluarga kita setuju walhasil kita resmi dijodohin waktu gue SMP kelas dua. Tapi gue enggak pernah setuju sama perjodohan bodoh itu. Gue enggak tau Yoga nganggap gue apa, dan gue rasa gue enggak peduli yang pasti buat gue, gue sekarang single. Kenapa emangnya?”
                “ Enggak, cuman tanya aja. Terus dia kemana sekarang kok enggak nungguin lo kayak biasanya?”
                “ Mana gue tau, seharian ini gue enggak ada ketemu dia. Pergi sekolah aja gue bareng Tami.”
                “ Dia enggak ada sms lo gitu?”
                “ Enggak. Kenapa sih?”
                “ Enggak pa-pa kok (tersenyum) oh iya, makasih ya filmnya, lo bener filmnya bagus banget.”
                Perbincangan itupun berlanjut begitu menarik, Janis terlihat antusias saat menceritakan film itu dan Jerrypun tak ingin kalah dengannya. Hujan masih turun dengan derasnya padahal jam sudah menunjukkan pukul 18.15, kelompok perkusi ini masih bertahan sembari menunggu hujan teduh. Kelompok ini saling bercerita satu sama lain tentang pengalaman mereka saat mengikuti festival perkusi beberapa minggu yang lalu, sampai sesosok laki-laki berdiri didepan musholla dengan baju setengah basah dan membuat Janis dan temannya tediam menatap laki-laki itu. Janis mengerutkan keningnya melihat Yoga tengah mencari sosoknya. Janis bangkit dari lingkaran perkusi itu dan keluar dari musholla.
                “ Yoga! Lo ngapain kesini?” tanya Janis bingung menghampirinya.
                “ Mau jemput lo lah. Tadi kata Cendy lo belum pulang gara-gara berteduh nungguin hujan disekolah.”
                “ Lo tadi kerumah?”
                “ Enggak, siapa yang bilang. Tadi gue chat sama Cendy terus dia bilang yang barusan gue bilang sama lo. Ayo pulang.” menarik tangan Janis.
                “ Ntar dulu, lo main tarik tangan gue aja. Gue ambil tas dulu.” Janis masuk kedalam musholla untuk mengambil tasnya dan berpamitan dengan yang lainnya.
                Setelah percakapan menarik hari itu antara Janis dengan Jerry, di latihan-latihan berikutnya Janis dan Jerry terlihat akrab. Mereka jadi sering mengobrol dan tertawa bersama meskipun Yoga sedang menungguinya latihan. Jerry sesekali mengusilinya dan Janis terlihat menikmati hubungan yang semakin dekat itu.
                Suatu kali Jerry mengatakan bahwa ia menyukai Janis seusai latihan perkusi. Janis kaget mendengarnya namun ia menutupi kekagetannya dengan membawa ungakapan Jerry tadi dengan bercanda. Jerry tak mengulang pernyataannya lagi, dia malah menikmati keusilan Janis. Sebenarnya Janispun begitu mengagumi sosok Jerry, pelatih yang serba bisa memainkan alat-alat perkusi itu dan kepiyawaiannya bernyanyi tak dapat dipungkiri tlah membuat Janis semakin mengaguminya dan menyukainya. Perbincangan menarik itupun membuatnya yakin dengan hatinya namun Janis tak brani menerima Jerry untuk menjadi pacarnya karna statusnya dengan Yoga yang tidak jelas.
                Janis berpikir keras didalam kamarnya, akhirnya ia memutuskan untuk mengajak Yoga bertemu di resto yang serba melon itu. Malam minggu jam tujuh Janis menunggu kedatangan Yoga di café yang serba melon itu yang baru diketahui Janis resto itu ternyata bernama Pondok Melon. Janis menungu Yoga sambil mengetukkan keempat jarinya ke meja secara bergantian. Tak lama Yoga pun datang dengan kaos putih lengan pendek ditambah jaket hitam, celana jeans hitam panjang, dan sepatu kets. Yoga langsung menghampiri sosok Janis yang tengah menunggunya dan duduk didepannya.
                “ Sorry ya lama, tadi gue mesti ngantarin dokter dulu bentar. Ada apa? tumben-tumbennya lo ngajak gue ketemuan?”
                “ Gue mesti bicara sama lo, serius.” Ujar Janis to do point.
                “ Ada masalah apa?”
                “ Lo taukan gue enggak pernah setuju dengan perjodohan kita?”
                “ (menaikkan kedua alisnya) terus?”
                “ Gue mau tanya sama lo, apa lo setuju dengan perjodohan kita?”
                “ Gue enggak pernah setuju dan menyetujuinya. Gue bahkan enggak pernah dikasi kesempatan buat nolak atau menyetujuinya karna memang gue enggak pernah diajak kompromi buat masalah ini.”
                “ Sekarang gue mau lo jujur, apa lo punya perasaan lebih sama gue?”
                “ (tersenyum) apa gue harus jawab pertanyaan itu?”
                “ Harus!” jawab Janis cepat.
                “ Sebenarnya ada apa sampe kita mesti ngomongin masalah ini serius?”
                “ Gue suka sama Jerry, pelatih perkusi gue, lo tau kan? Dan itu udah lama banget. Dan kemarin sore dia bilang kalo dia juga suka sama gue. Lo tau, gue enggak bisa bilang ‘iya’ kata yang seharusnya gue bilang sama dia karna status hubungan kita.”
                “ Kita? Ada apa dengan hubungan kita?”
                “ Ya.. karna perjodohan konyol ini pastinya.”
                “ Terus mau lo apa sekarang?”
                “ Gue mau lo bilang sama orang tua lo kalo lo menolak untuk dijodohin sama gue.”
                “ Kenapa gue mesti bilang itu? Kalo lo emang suka sama Jerry lo tinggal pacaran aja sama dia, gampangkan!?”
                “ Lo kok bego banget sih? Lo nyadar enggak sih, semua perlakuan lo ke gue itu udah kayak orang pacaran ditambah lagi elo yang sering ngantar jemput gue sekolah dan nungguin gue latihan. Gimana bisa coba gue pacaran sama Jerry sementara gue malah keliatan pacarannnya sama lo.”
                “ Gue ngerti arah pembicaraan ini. Lo enggak mau nama lo jelek sendirikan didepan nyokap gue? Sayangnya gue enggak bisa ngelakuin apa yang lo mau.” Yoga tersenyum sinis.
                “ Kenapa? Lo punya perasaan lebih sama gue? Lo suka sama gue?”
                “ Masalahnya enggak segampang yang lo pikirin, tinggal balikin telapak tangan dan semuanya beres. Enggak kayak gitu!”
                “ Terus kayak gimana?”
                “ Gue cuman enggak pengen jadi penyebab kematian orang yang gue sayang, itu alasannya.” Jelas Yoga sambil menatap mata Janis tajam.
                “ Maksud lo?”
                “ Nyokap gue sakit jantung koroner, gue enggak pernah tau kapan Tuhan ngambil dia. Yang hanya bisa gue lakuin sekarang ini cuman bikin dia bahagia disisa umurnya. Kalo gue ngomong sama dia dan menolak perjodohan ini, gue enggak tau apa gue masih bisa liat dia besok pagi atau enggak. Gue bisa aja ngelakuin apa yang lo mau malam ini juga, tapi masalahnya enggak segampang itu. Kalo lo emang suka sama Jerry lo lakuin aja apa yang lo mau, gue enggak bisa ngelarang lo, karna gue emang bukan siapa-siapa lo sekarang walaupun nanti gue emang bakal jadi suami lo.”
                “ Yakin banget lo bakal jadi suami gue!”
                “ Terserah lo mau terima ini apa enggak yang pasti kalo lo mau nolak ini semua lo mesti berjuang sendiri, karna gue enggak bakalan bantuin lo.”
                Mereka berdua terdiam lama. Tak satupun kata terucap setelah perdebatan yang cukup sengit itu. Mereka berdua sama-sama berpikir bagaimana caranya menyelesaikan masalah perjodohan ini, masalah yang rumit untuk mereka selesaikan saat umur mereka yang masih begitu muda. Yoga terlihat berpikir begitu keras untuk masalah ini sampai-sampai air yang dipesannya tak disentuh sedikitpun sedang Janis hanya memainkan sedotan dalam minumannya, sesekali ia meminumnya, mengaduk, memainkannya lagi dan begitu seterusnya.
                “ Elo sayang sama Jerry?” tanya Yoga mendelik.
                “ Gue rasa iya.” Janis membalas tatapan Yoga.
                “ Elo beneran pengen punya hubungan dengan dia?”
                “ Absolutely!”
                “ Just do it..”
                “ Gimana caranya kalo gue aja kemana-mananya mesti sama lo?”
                “ Gue bakal bantu lo. Ntar gue cariin alasan kalo gue enggak bisa ngantar-jemput lo terus, praktikum alasan yang baguskan buat bikin gue keliatan sibuk?”
                “ Lo jenius! Enggak salah lo masuk kedokteran. Makasih banget, Ga.. makasih banget!” seru Janis girang.
                “ Iya,iya.. tapi lo mesti ingat, kalo ada apa-apa sama hubungan kalian gue enggak mau ikut campur.”
                “ Janji!” serunya Janis sekali lagi sambil membentuk V dijari tangan kanannya.
                Malam itu juga Janis dan Jerry resmi menjadi sepasang kekasih. Mereka melewati hari-hari bersama. Setiap ingin pergi Janis slalu meminta Jerry menunggunya di depan komplek rumahnya dan saat malam minggu Yoga menjemputnya dan mengantarnya ketempat yang tlah disepakati oleh Jerry dan Janis, begitu juga pulangnya. Dan begitu seterusnya selama dua bulan terakhir ini.
               
* * *

                Memasuki bulan ketiga hubungan Janis dan Jerry mulai renggang, mereka sering bertengkar hanya karna hal kecil, dan Jerry sering tidak mau kalah bila beradu mulut dengan Janis. Seminggu mereka memutuskan untuk break namun setelah break hubungan mereka tetap saja tak membaik, kalaupun baik hanya mampu bertahan selama seminggu saja setelah itu kembali ribut dengan berbagai macam masalah.
                Sampai pada suatu malam Janis menunggu Jerry ditempat biasa mereka bertemu namun Jerry tak kunjung datang. Sudah dua jam Janis menunggunya, handphonenya tak aktif, namun Janis masih terus menunggu hingga pukul sepuluh malam Jerry tak tampak juga kehadirannya. Janis memutuskan untuk pulang, sambil menunggu taxi ia berjalan diatas trotoar sendirian. Malam itu hatinya benar-benar hancur, ia kecewa dengan Jerry. Ingin sekali Janis menelpon Yoga untuk minta dijemput namun Janis malu, ia tak tau harus mengatakan apa pada Yoga. Jerry yang slama ini slalu ia bela didepan Yoga, slalu ia banggakan, tapi membuat hatinya berantakan. Janis terus berjalan, dan tak lama gerimis mulai turun. Satu persatu gerimis itu menambah volume jatuhnya dan menjadikannya deras. Sangat deras disertai petir dan angin.
                Janis berlari menuju halte terdekat, ia berteduh disana. Sambil duduk ia memperhatikan lalu lalang orang yang lewat sampai matanya tertuju pada sebuah kios dagangan kecil disebrang jalan tempat ia sedang berteduh. Ia melihat motor Jerry dan ia mulai mencari sosok itu samar-samar dan Janis menemukan Jerry sedang berteduh dengan seorang perempuan berambut panjang melewati bahu. Jerry sesekali terlihat tertawa bersama perempuan itu dan membelai rambut panjangnya. Dengan sigap Janis mengambil handphone dari dalam tasnya dan menelpon Jerry. Tut…tut… dan terputus tanpa sempat diangkatnya. Janis benar melihat Jerry mengambil handphonenya dari dalam saku celananya namun memasukkannya lagi.
                Janis merasa tak bisa diam begitu saja melihat adegan itu dihadapannya, ia berlari menuju sebrang jalan. Dengan badan yang basah ia datang menghampiri Jerry. Jerry terlihat begitu kaget dengan kehadiran Janis dihadapannya. Lama mereka saling tatap dan benar-benar membuat Janis terguyur hujan. “ Jadi kamu enggak datang nemuin aku karna ini?” Tanya Janis tajam.
                “ Oh Shitt!! (bisiknya pelan namun terdengar jelas oleh Janis) Aku enggak..-“
                “ Kamu mau jelasin apa lagi? Semuanya udah jelas bahkan benar-benar jelas. (mengganti pandangnnya kearah perempuan disamping Jerry) kamu siapa? Ceweknya Jerry?” perempuan itu terlihat bingung dengan situasi ini.
                “ Bukan. Kamu siapa memangnya? Kamu ceweknya Jerry?” tanya perempuan itu balik.
                “ Kamu tau siapa pacarnya Jerry?” tanya Janis balik.
                “ Enggak. Jerry bilang dia belum punya pacar. Kamu pacarnya?” ujar wanita itu tanpa perasaan bersalah.
                “ Dulu, tapi sekarang enggak.” Tersenyum sinis.
                Janis berjalan meninggalkan mereka berdua setelah itu dan Jerry berusaha untuk menjelaskannya. Namun Janis tetap tak berhenti berjalan. Hingga tangan Jerry menarik tangannya dan Janis terpaksa menghentikan langkahnya dan berbalik.
                “ Apa lagi?” teriak Janis. Air mata Janis tertutupi guyuran hujan namun matanya yang merah tak dapat disembunyikan.
                “ Malam ini aku enggak pernah ada janji sama kamu. Kapan kita janjian?”
                “ Oh ya? Aku sms kamu buat ngajakin ketemuan dan kamu mengiyakan ajakan aku.”
                “ Kapan kamu sms aku?”
                “ Tadi siang pake nomor Tami.”
                “ Shitt.. ini pasti kerjaannya Dede (desis Jerry pelan). Aku minta maaf soal janji itu, tapi sumpah aku enggak ada nerima sms itu. Aku enggak mungkin minta maaf sama kamu buat masalah Bella, aku tau pasti kamu enggak mau maafin aku.”
                “ Oh, jadi namanya Bella. Bagus kalo kamu udah tau. Aku nyesel udah belaiin kamu depan Yoga, aku nyesel udah ninggi-ninggin kamu didepan Yoga, ternyata kamu enggak ada apa-apanya dibanding Yoga. Aku malu sama Yoga, malu sama orang tua aku kalo sampe mereka tau. Kamu keterlaluan!” membuang cincin dari jari tengahnya ke aspal. Janis berlari meninggalkannya dan Jerry hanya bisa menatap Janis yang mulai menjauh dari hadapannya.
                Janis terus berlari tak tau sampai kapan ia mampu berlari. Janis menangis sejadinya, tak sedikitpun ia berusah untuk menghapus air matanya yang jatuh. Disaat yang bersamaan Yoga sedang berada di Clouth Shop yang terletak dipinggir jalan. Ia duduk didekat pintu kaca yang dapat melihat keluar itu, saat ia melihat ke luar, ia langsung meninggalkan pembicaraannya dan mengejar Janis.
                “ JANISS…!!!” teriak Yoga dari depan toko. Janis berhenti dan menoleh. Yoga segera berlari menghampirinya.
                “ Lo ngapain jalan kaki hujan-hujan gini? Mana Jerry?” tanya Yoga penasaran.
                “ Jerry, Jerry (Yoga memeluknya dan Janis menangis terisak dalam pelukan Jerry) Jerry ngianatin gue, Ga..” Yoga memeluknya dan membawanya masuk kedalam toko temannya tersebut.
                “ Lo basah banget, lo ganti baju ya? Lo pilih aja baju yang lo mau.” Ujar Yoga sambil tersenyum ramah.
                “ Enggak. Gue gini aja.”
                “ Lo bisa sakit kalo basah kayak gini.”
                “ Gue bilang enggak ya enggak!” bentak Janis sambil menangis. Yoga mendudukkannya di sofa kecil didalam kamar toko itu.
                “ Lo punya selimut atau handuk gitu enggak?” tanya Yoga pada temannya.
                “ Kan ada di lemari, Ga.. ekh Ga, itu cewek yang mau dijodohin sama lo?”
                “ Iya, kenapa?”
                “ Lo apain? Hamil ya?”
                “ Kampret lo! Asal ngomong aja, ya enggaklah.” Melempar majalah ke wajah temannya itu.
                “ Terus kenapa dia nangis sampe kayak gitu?”
                “ Usil lo!” Yoga meninggalkan temannya dan masuk kedalam kamar kecil itu. Yoga menyelimuti badan Janis dengan selimut dan membuatkannya susu hangat. Lalu Yoga duduk disebelah Janis.
                “ Gue udah curiga lama banget, tapi gue enggak tega mau ngomong sama lo. Dua minggu yang lalu gue pernah liat Jerry di mall sama cewek dan cewek itu bukan lo. Mereka gandengan tangan dan keliatan mesra banget.” Ujar Yoga hati-hati.
                “ Lo bisa enggak ngomongin dia dulu?”
                “ Ok.” Yoga menyandarkan kepala Janis dipundaknya sambil mengelus rambutnya yang basah. “ Nis, sesuai kesepakatan gue enggak bisa ikut campur. Kalo enggak pasti udah gue tonjok tuh anak sekarang. Maafin gue yang enggak bisa bantu lo.” Janis makin meringkukkan tangan dan kakinya sementara Yoga terus membelai rambutnya yang basah terguyur hujan. Lama mereka terdiam.  “ Gue sayang banget sama lo karna sejak kecil gue udah terbiasa sama lo dan gue.. gue enggak bisa jauh dari lo, sepi rasanya. Kenapa sih lo slalu nolak perjodohan kita? Padahalkan gue sayang beneran sama lo, apa sih kurangnya gue? Nis, (melihat wajah Janis) Janis.. yah dia tidur. (tertawa sendiri) sia-sia gue ngomong. Janis, Janis.. ini yang mungkin buat gue sayang sama lo, lo punya cara lo sendiri buat ngungkapin sesuatu, lo beda.” meletakkan kepalanya pelan diatas sofa dan Yoga meninggalkannya keluar.
                Yoga menelpon maminya Janis untuk memberitahu bahwa mobilnya sedang mogok dan sekarang Janis sedang tidur di mobilnya, ia meminta izin untuk memulangkan Janis agak malam.  setelah menelpon orang tua Janis, Yoga menggendong Janis dan membawanya pulang dengan mobilnya.
                Keesokan sorenya Janis sedang mencuci piring sambil melamun. dan suara Yoga mengagetkannya hingga piring yang sedang dipegangnya jatuh. “ Sorry, gue ngagetin lo ya? makanya kalo mau nyuci piring jangan sambil ngelamun, sini gue bantuin.” mengambil piring lainnya dan mencucinya. Janis memperhatikan Yoga dengan seksama sudah lama Yoga tidak ramah padanya, sebelum Janis pacaran dengan Jerry sudah hampir dua minggu Yoga ketus dengannya. “ kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?” tanya Yoga.
                Janis hanya menggelengkan kepalanya. Yoga mencuci tangannya dengan air dan menyipratkannya ke wajah Janis, Janis yang kesal lalu membalas dengan menyipratkan air ke wajah Yoga dan mereka saling menyipratkan air sambil tertawa bersama. Mami Janis datang mengagetkan mereka berdua yang sedang asik tertawa bersama.
                “ Gitu dong yang mesra, jangan berantem terus. kalo ginikan enak ngeliatnya, mami enggak salahkan kalian tuh emang jodoh!” mami Janis menggoda mereka berdua.
                Wajah Janis mendadak menjadi terasa panas, rasanya panas itu menyebar begitu saja kesluruh wajahnya yang mengakibatkan wajahnya menjadi merah. “ Mami apaan sih? siapa yang mesra. Akh udah ah.. mami ngawur.” ujar Janis lalu berlalu meninggalakan maminya dan Yoga.
                “ Ngawur tapi kok mukanya merah gitu?” goda maminya sekali lagi. sambil menunjuk wajah Janis saat melewatinya.
                “ Merah apaan, ye..” sahut Janis membela diri
                Janis masuk kedalam kamarnya. Ia duduk diatas kasurnya dan berpikir, apa benar tadi wajahnya merah seperti yang mami bilang tapi Janis menepis jauh pikiran tak penting itu. Janis berbaring ditempat tidurnya sambil melempar-lemparkan boneka kodok keatas hingga teriakan Cendy menarik perhatiannya. Janis menuju balkon kamarnya, berdiri ditepi pembatas balkon itu dan melihat Cendy yang sedang asik bermain bola lempar bersama Yoga. Cendy berteriak-teriak kegirangan bersama Yoga, mereka berdua tampak akrab. Kadang melihat Yoga yang akrab seperti ini dengan Cendy, Janis merasa perjodohan ini tidak terlalu buruk.
                Janis tersenyum melihat mereka yang asik bermain. Janis terus memperhatikan mereka sambil tersenyum sendiri. sampai Cendy meneriakinya dari bawah. “ Kak Janis, sini turun! (melambai) kita main bola yuk sama Kak Yoga juga, ayo kak..” ajak Cendy. Yoga yang melihat Janis hanya melemparkan senyum termanisnya.
                Janis hanya melempar sebuah senyuman manis pada Cendy dan Yoga yang sedang melihatnya, lalu ia kembali masuk kedalam kamarnya. Ia mengambil handphonenya dan mengirim sebuah sms. Dibawah, Yoga yang tengah asik bermain dikejutkan dengan dering handphonenya, setelah membaca isi sms itu Yoga tersenyum dan melihat kearah kamar Janis sambil tersenyum senang. Lalu ia membalas sms itu. Janis yang mendapatkan balasan langsung meloncat kekamar mandi untuk segera mandi. 30 menit kemudian Janis keluar dari kamarnya dan siap untuk pergi. Ia menemui Yoga di taman belakang rumahnya.
                Yogapun pamit dengan mami, papi, dan Cendy untuk mengajak Janis pergi keluar rumah. Mereka berdua pergi untuk karokean. Setelah karokean mereka lanjut untuk makan. Sejak tadi Janis tak henti-hentinya bercerita dan tertawa, selama ini Yoga tak pernah melihat Janis selepas ini saat pergi bersamanya.
                “ Yoga, makasih ya.. lo udah ngebalikin gue lagi, ngecharge gue lagi. gue sekarang jadi ngerasa balik lagi kayak biasa. makasih ya, makasih.” menggenggam kedua tangan Yoga. Yoga melihat gerakan refleks dari Janis dengan tatapan bingung. “ Ups.. sorry..” Ujar Janis malu-malu dan segera melepaskan genggaman tangannya.
                “ (tersenyum) Gue seneng liat lo bisa kayak gini. ini pertama kalinya gue liat lo sebahagia ini setelah sekian lama kita sering jalan bareng.” Janis menunduk malu mendengar ucapan Yoga. “ Sebenernya kenapa sih lo slalu nolak perjodohan kita?” tanya Yoga penasaran.
                “ Ya, itu karna, karna.. (bingung sendiri) ya karna gue enggak suka aja dijodohin. Gue mah sukanya yang alami-alami aja enggak pake acara dijodoh-jodohin segala.”
                “ Cuman karna itu? Enggak ada alasan lain lagi?”
                “ (mengerutkan kening) Emangnya ada alasan apa lagi?”
                “ Gue yang nanya kenapa jadi lo yang balik nanya? Lo bener cuman karna alasan itu nolak perjodohan kita?”
                “ Lo ngomong apa sih, enggak ngerti gue. Udah akh enggak usah bahas itu terus.” Jawab Janis salah tingkah. Ia bingung harus memberi alasan apa, sebenarnya ia mengerti betul arah pembicaraan ini hanya saja ia tak tau harus mengatakan apa.
                Selesai makan Janis ingin membeli ice cream dan Yoga membelikannya ice cream, mereka duduk di bangku kosong yang tersedia di beberapa sudut didalam mall itu. Mereka makan ice cream sambil mengobrol dan sesekali Yoga melap ujung bibir Janis dengan tissue. Janis memang slalu clemotan bila sedang makan ice cream apalagi ice cream corn seperti yang diberikan Yoga padanya. Janis mulai merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya, ntah apa namun ia tak ingin memusingkannya.
                Setelah merasa cukup puas mereka memutuskan untuk pulang dari mall itu. Menuju parkiran mobil Janis merasa lelah dan meminta Yoga untuk menggendongnya. Yoga menggendong Janis dipunggungnya sampai didepan mobilnya. Seberat apapun badan Janis, namun saat Janis berada dipunggungnya ia berharap parkiran menuju mobilnya dapat lebih jauh lagi agar ia dapat lebih lama membiarkan Janis diatas punggungnya.
                Setelah hari itu, hubungan Janis dan Yoga mulai membaik dan semakin membaik. Janis tak pernah lagi risih dengan Yoga yang slalu ada didekatnya, mengantar jemputnya dan menungguinya latihan perkusi. Perasaannya terhadap Jerry seolah tlah berganti dan terlupa begitu saja dengan hubungannya dan Yoga yang semakin membaik. Setiap kali latihan Janis menghindari untuk melihat Jerry dan lebih memilih untuk melihat Yoga yang selalu melempar senyum saat matanya dan mata Janis bertemu.

* * *

                Makan malam bersama keluarga Janis.
                “ Gimana hubungan kamu sama Yoga? mami liat kayaknya kalian mulai akur? Terus mami denger dari Yoga kamu udah jarang jutekin dia lagi.” sentil Mami sambil tersenyum menggoda.
                “ Mami apaan sih, Janis kan udah bilang, Janis enggak mau dijodoh-jodohin.”
                “ Termasuk sama Yoga?”
                “ Mami akh..” seru janis sebel.
                “ Mami tuh kenapa sih? Ngusilin Janis terus, biarin aja mereka, udah gede jugakan.” Jawab Papi membela Janis.
                “ Bukannya gitu pi, mami sih mulai kasian aja sama Yoga. Kalo memang Janis enggak mau sama dia, mami mau bilang baik-baik sama mamanya Yoga supaya Yoga cari cewek lain aja.”
                “ Maksud mami?” tanya Janis kaget.
                “ Waktu arisan minggu lalu, Tante Yuke bilang sama mami kalo memang kamu enggak mau sama Yoga dia mau ngejodohin anaknya, si Cindy sama Yoga. Merekakan satu kampus jadi bisa lebih akrab dan cepat nyambungnya.”
                “ Ha?? Aa..a.. terserah mamilah, aku enggak mau tau.” jawab Janis ketus.
                “ Ya udah kalo gitu ntar mami bilang aja sama mamanya Yoga.”
                “ Tapi mi, bukannya tante Ria sakit jantung koroner ya?”
                “ Terus?”
                “ Ya.. ntar kalo mami kasi tau bahwa perjodohan ini dibatalin dia bisa kambuh lagi sama penyakitnya.”
                “ Ya enggak mungkinlah, mamikan bakal ngomong baik-baik sama dia, kasi penjelasan, dan kasi calon yang baru juga. Lagian mami sadar kalo hati itu enggak bisa dan enggak boleh dipaksaiin. Mami juga capek ngejodohin kalian berdua kalo kamunya nolak terus.”
                “ Mami, nanti kalo aku udah gede mami juga mau jodohin aku enggak?” tanya Cendy polos.
                “ Memangnya Cendy mau dijodohin sama siapa?” tanya mami balik
                “ Sama kak Yoga.” jawab Cendy polos
                Sontak Janis terkejut hingga ia tersedak mendengar kalimat yang dilontarkan adiknya itu, sementara mami dan papinya hanya tertawa mendengarnya. Sebegitu baiknya Yoga dimata Cendy hingga adiknya sendiri dapat mengatakan hal seperti itu didepannya, bahkan di depan seluruh keluarga. Janis melanjutkan makannya sambil menunduk. Ia telah kehilangan selera makannya, benar-benar kehilangan selera. Ditambah ucapan maminya yang ingin membantu menjodohkan Yoga dengan anak temannya. Tiba-tiba saja ada rasa tidak terima dalam hati Janis.
                Selesai makan Janis masuk kedalam kamarnya saat itu juga handphonenya berdering. dilihatnya siapa yang menelpon, ternyata dari Yoga. Ia ingin mengabaikannya namun tangannya tiba-tiba saja menjawab panggilan itu. “ Hallo?” terdengar suara Yoga dari sebrang sana.
                “ Iya, ada apa?” Jawab Janis malas.
                  Kenapa suara lo malas gitu?”
                “ Enggak kok, perasaan lo aja kali.”
                “ Ekh, barusan gue ngangkat telpon dari nyokap lo dia sekarang lagi ngomong gitu sama nyokap gue. Kira-kira ngomongin apa ya? Atau jangan-jangan mereka lagi ngomongin masalah tanggal tunangan kita lagi.”
                “ Ha? Gak tau akh, mikir aja sendiri, gue lagi malas mikir.” Jantung Janis tiba-tiba berdegup, ia sedang menebak yang dibicarakan maminya dengan mama Yoga. Mungkin tentang cewek yang bernama Cindy yang anak temannya itu pikir Janis kesal.
                “ Lo kenapa sih?”
                “ Kenapa?”
                “ Kok BT gitu?”
                “ Lo punya teman sekampus namanya Cindy ya?”
                “ Punya, kok lo tau?
                “ Enggak tau deh, pusink gue.”
                “ Ha? Lo kenapa sih? Tiba-tiba aja BT, terus tiba-tiba nanyain Cindy, ada apa sih sebenarnya?”
                “ Lo mau dijodohin sama dia, PUAS?!”
                “ Ooh, masalah itu.”
                “ Cuman itu tanggapen lo? Lo gak marah?”
                “ Kenapa mesti marah coba? Bukannya lo yang enggak mau dijodohin sama gue, terus kenapa sekarang gue yang mesti marah?”
                “ Jadi lo terima gitu aja kalo perjodohan kita dibatalin?”
                “ Gue enggak bisa ngebantah omongan nyokap gue. Lagian lo emang enggak maukan dijodohin sama gue, ya udah. Siapa tau Cindy mau terima gue.”
                “ Apa? Emangnya lo enggak ngerasa kayak barang yang lagi dioper-oper?”
                “ Enggak. Sekarang gini deh, posisinya gue balik. Misalnya aja nih lo jadi gue dan gue jadi lo. Lo punya nyokap yang umurnya ada ditangan lo, kalo lo melakukan hal-hal bodoh atau yang bikin dia kesel, dia bisa mati gitu aja. Terus awalnya lo dijodohin sama gue, dan lo merasa fine-fine aja karna secara fisikly gue enggak jelek-jelek amat dan enggak bikin malu kalo diajakin jalan dan lo udah ngelakuin semua hal buat bikin gue terima lo dalam kehidupan gue. Tapi semuanya nihil. Karna gue menolak perjodohan itu dan enggak suka sama lo. Lalu tiba-tiba aja nyokap lo bilang kalo lo bisa aja dijodohin sama anak temannya yang kemungkinan besar bakal terima lo. Apa yang bakal lo lakuin? Lo mesti inget lo punya nyokap yang umurnya setengah ada ditangan lo dan satu lagi, tujuan lo hidup hanya untuk buat dia bahagia dan bangga sama lo.”
                Janis teridiam, ia merasa semua yang dikatakan Yoga benar. Selama yang ia tau cita-cita Yoga tak pernah muluk-muluk yaitu mewujudkan apa yang menjadi keinginan mamanya. Dimata Yoga mamanya adalah orang yang paling dia sayang seumur hidupnya bahkan Yoga tak pernah mempunyai jalan hidup yang ia ciptakan sendiri selain jalan hidup yang dibuatkan mamanya untuknya. Yah.. semenjak kecelakaan yang hampir merenggut nyawa mamanya saat dia masih kelas lima SD, hanya mamanya yang menjadi prioritasnya.
                “ Kenapa lo diam? Jawab dong! Janis? Hallo? Lo masih disitukan?”
                “ Aa..ee.. iya, iya gue masih denger lo kok.”
                “ Jadi lo bakal ngelakuin apa?”
                “ Sorry, Ga.. gue banyak PR. Bye..” tiba-tiba aja telpon ditutup. Yoga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Janis.
                Keesokan paginya. Janis sedang menunggu Yoga menjemputnya di teras depan rumahnya. sambil melihat jam ditangannya ia duduk dengan gelisah. mami yang melihatnya seperti itu menghampirinya. “ Kamu nunggu siapa?”
                “ Nunggu Yoga.”
                “ Mami lupa kasi tau kamu semalem. Perjodohan kamu sama Yoga udah dibatalin, jadi mulai hari ini Yoga enggak akan ngantar jemput kamu lagi, dia bakal ngantar jemput Cindy sekarang. Kamu pergi sama papi aja ya sekalian sama Cendy.”
                “ Apa?? (menghembuskan nafas panjang) Enggak usah! Janis pergi sendiri aja.” Janis buru-buru pergi kesekolahnya.
                Sesampai disekolah Janis terus melamun, ia tak habis pikir dengan sikap maminya yang mengambil keputusan tiba-tiba dan sebelah pihak. Dan yang benar saja semua ini harus terjadi disaat seperti ini, disaat ia mulai merasakan sesuatu sedang menarik hatinya setiap kali nama Yoga terdengar dan setiap kali dia melihat laki-laki itu. Tapi ditengah pemikirannya ini semua salahnya sendiri. Ia berpikir keras bagaimana caranya untuk menggagalkan perjodohan antara Cindy dan Yoga dan tentunya mengembalikan Yoga ke sisinya, namun.. Ia tepis pemikiran itu jauh-jauh. Janis menanamkan, ia bisa walau tanpa Yoga.
                “ Siapa yang butuh Yoga? Ambil sana Yoga, gue juga bisa kok dapetin cowok lain.” ujar Janis dalam hati.
                Janis berusaha untuk fokus dengan pelajarannya hari ini tapi ntah mengapa semuanya terasa hambar. Semakin ia mencoba fokus semakin sulit ia menerima pelajaran yang masuk, Janis menyerah ia izin untuk ke toilet. Di dalam toilet Janis mengeluarkan handphone dari dalam saku bajunya, ia menelpon Yoga namun diputuskannya saat belum tersambung, lalu ditelponnya lagi dan diputuskannya lagi. begitu terus sampai empat kali dan yang kelima kali ia mantap untuk menelpon Yoga. “ Hallo?” terdengar suara Yoga dari sebrang sana. Janis menarik nafas dalam dan berbicara cepat.
                “ Lo bisa jemput gue disekolah sekarang? Gue enggak mood banget mau masuk kelas.” tanya Janis to do point.
                “ Ha? Jemput lo? Sekarang? Mmm… gimana ya?!”
                “ Kenapa? Lo enggak bisa? Lo lagi dikampus ya?”
                “ Enggak kok, hari ini gue baru ada mata kuliah jam dua.”
                “ Terus?”
                “ Gue, gue lagi mau ngantarin Cindy ke salon. Kayaknya gue enggak bisa nolongin lo hari ini, sorry ya..”
                “ Apa? Ke salon? Oh, ya udah.. Sorry udah ganggu.”
                “ Enggak apa-pa kok mestinya gue kali yang minta maaf sama lo. Lo izin ke UKS aja, Nis.. Kan jadinya lo bisa tiduran disana.”
                “ (memaksa senyumnya) Ia, lo bener. Ya udah, have fun ya.” telpon ditutup.
                Janis tiba-tiba merasa hatinya sakit saat mendengar Yoga sedang bersama Cindy. Saat jam istirahat Janis dan Tami duduk disalah satu bangku kantin dan memesan makanan, Tami sudah memperhatikan perubahan Janis sejak tadi pagi dan sampai detik ini Janis tak banyak bicara. sejak tadi ia hanya memainkan sedotan dalam es teh manisnya. “ Lo kenapa? Berantem lagi sama Yoga?”
                “ Enggak.”
                “ Terus kenapa dari tadi pagi lo BT gitu?”
                “ Enggak kenapa-kenapa.” jawabnya singkat.
                “ Nis, gue ini teman lo dan gue kenal lo bukan baru seminggu yang lalu. Kalo emang enggak ada apa-apa lo enggak mungkin BT seharian kayak gini. Lo kenapa sih?”
                “ Perjodohan gue dibatalin sama Yoga.” jawab Janis malas.
                “ Apa?? Dibatalin? Gimana ceritanya?” tanya Tami kaget.
                “ Gue juga enggak ngerti gimana ceritanya. Yang jelas sekarang gue sama Yoga enggak dijodohin lagi.”
                “ Bukannya itu maunya lo dari dulu? Harusnya lo seneng dong bukan malah BT kayak gini kecuali…(menatap mata Janis) kecuali lo…-“
                “ Kecuali apa?” tanya Janis cepat.
                “ Kecuali lo juga suka sama Yoga.”
                “ Ha? Gue? Kayaknya enggak deh.”
                “ Nis, Gue enggak pernah liat lo kayak gini selama dua tahun kita temenan. Waktu putus sama Jerry aja lo enggak kayak gini-gini amat.”
                “ Beda dong. Gue putus sama Jerry ada Yoga yang nemenin gue, sekarang?”
                “ Lo kan masih punya gue. Tuh kan bener, lo tuh ngerasa kehilangan Yoga. Udah ngaku aja kalo lo suka sama Yoga, sama gue gini.”
                “ (Janis terdiam, menarik nafas dalam) Mungkin yang lo bilang bener, tapi semuanya udah telat.”
                “ Telat gimana maksudnya?”
                “ Dia udah dijodohin sama cewek lain, namanya Cindy. Tadi gue sempet telpon Yoga buat minta jemput tapi dia lagi sama Cindy.” jawab Janis pasrah.
                  Mending lo cari tau deh Yoga itu suka apa enggak sama lo sebenarnya. Atau kalo enggak lo terus terang aja sama nyokap lo, siapa tau dia bisa bantu.”
                “ Gue enggak mungkin terus terang sama nyokap gue, udah gila kali gue kalo terus terang sama dia. Gue yang nolak mati-matian sekarang malah gue yang mohon-mohon minta Yoga balik sama gue. Enggak bakal!”
                “ Kalo gitu lo mesti cari tau!”
                “ Gue udah tau kok, sebenarnya Yoga tuh sayang sama gue.”
                “ PD banget sih lo, dicari tau aja belum.” ledek Tami sambil tertawa.
                “ Malam gue putus sama Jerry itukan dia yang nolongin gue pas ujan-ujan nah, pas gue ketiduran gue denger dia bilang kalo dia sayang banget sama gue. Cuman waktu itu gue enggak ngerespon jawaban dia dan gue lebih milih pura-pura tidur padahal gue sadar banget.”
                “ Kalo memang dia sayang sama lo kenapa dia mau aja dijodohin sama Cindy? Harusnya dia nolak dong..”
                “ Dia enggak bisa bilang ‘enggak’ kalo nyokapnya yang nyuruh. Jadi, dia enggak mungkin nolak perjodohan itu.”
                “ Memangnya kenapa?”
                “ Ceritanya panjang, Mi.. Gue enggak tau sekarang mesti gimana, gue udah kebiasa sama dia dan sekarang dia mesti gue relain gitu aja.” ujar Janis diiringi air matanya yang perlahan mengalir.
                “ Gue juga bingung, gue enggak pernah dijodohin kayak gini masalahnya. Ntar gue coba bantu lo deh, sekarang lo tenangin diri lo aja dulu.” mengusap punggung Janis.

* * *

                Dua minggu berlalu. Dua minggu sudah hari-hari Janis tanpa Yoga. Dua minggu sudah tak lagi Janis dapatkan perlakuan istimewa dari Yoga. Janis benar-benar kehilangan sosok Yoga yang sangat mengertinya dan selalu ada untuknya. Janis tlah berusaha untuk dapat menerima perjodohan Yoga dengan Cindy dengan ikhlas namun hatinya tak mampu merelakan Yoga begitu saja.
                Sudah dua minggu juga Janis tak latihan perkusi seperti biasanya, ia benar-benar rapuh saat ini. Luka yang ditoreh oleh Jerry masih begitu basah dan ia tak mampu bertahan bila Yoga tak ada disampingnya. Ia memang tlah melupakan Jerry namun  setiap melihat Jerry, Janis selalu merasa tiba-tiba emosinya memuncak dan hanya Yoga yang dapat membuat hatinya kembali tenang.
                “ Siapa sih yang dapat menolak pesona cewek secantik dan seanggun Cindy? Udah pinter, cantik, baik, ramah, anggun, calon dokter dan sekarang jadi salah satu finalis Putri Indonesia pula. Beruntung yang jadi suaminya kelak.” Ujar mami pada dirinya sendiri saat melihat sebuah harian yang berisi informasi tentang para finalis Putri Indonesia. Janis yang sedang menonton tv disamping maminya tiba-tiba merasakan darah mengalir kekupingnya hingga membuat kupingnya terasa panas.
                Janis yang semula duduk lalu bangkit dari kursinya dan berniat untuk segera masuk kedalam kamarnya. Sudah dua hari ini maminya terus membanggakan Cindy dan Yoga dan menyayangkan ketidakmauan Janis untuk dijodohkan dengan Yoga.  Janis benar-benar kesal dibuatnya. Baru saja Janis akan melangkah tiba-tiba saja ia mendengar maminya kembali membuatnya naik darah. “ Duh Yoga itu sama Cindy…-“
                “ Mi, bisa enggak sih enggak ngomongin mereka berdua?” bentak Janis pada maminya.
                “ (mengerutkan kening) kamu kenapa? Apa yang salah dengan mereka memangnya?”
                “ Kalo memang mami niatnya cuman buat bikin aku kesel, mami berhasil. Tapi aku minta tolong sama mami satu hal, jangan ngomongin Yoga atau Cindy atau mereka bedua didepan aku.”
                “ Memangnya kenapa? Lagian siapa yang mau buat kamu kesal?” tanya maminya santai.
                “ (membuang nafas nyaring) terserah mami deh, aku capek sama mami yang kayak anak kecil.” meninggalkan maminya dan segera menaiki tangga.
                “ Kamu yang kayak anak kecil, kalo memang suka sama Yoga enggak perlu gengsi dan enggak perlu sok-sokan nolak perjodohan kalian sampai ngorbanin hati kamu kayak begini.” seru maminya menghentikan langkahnya. Janis berbalik.
                “ Tau apa mami tentang perasaan aku? Apa mami care sama semua yang aku rasain? Mami peduli? Mami enggak pernah mau tau, mami slalu nuntut aku supaya nurut sama semua kemauannya mami. Mami enggak pernah mau dengerin aku, mami slalu nyuruh aku gini, gitu harus gini, gitu tapi apa mami pernah mikir gimana perasaan aku? Selama ini aku enggak pernah ngebantah mami, semua yang mami mau aku lakuin tapi satu yang aku enggak bisa terima, aku enggak suka mami ngatur siapa yang harus jadi pendamping aku.” jawab Janis panjang lebar.
                “ kamu bilang kamu slalu nurut? Mami ngelarang kamu perkusi tapi kamu tetap lakuin, apa mami pernah protes sampe marah? Enggak. Mami ngelarang kamu buat menjalani hubungan dengan cowok lain selama kamu masih punya ikatan perjodohan sewaktu dengan Yoga tapi kamu pacaran sama pelatih perkusi kamu, apa mami pernah marah? Kamu tau kenapa? Karna mami care sama kamu, mami sayang sama kamu. Jangan kamu pikir mami enggak pernah tau tentang hubungan kamu sama Jerry, bahakan seperi apa Jerry menyakiti hati kamu mami tau dan kamu salah kalo bilang mami enggak pernah peduli sama apa yang kamu rasain!” Ujar mami yang mulai terpancing emosi.
                Lama kedua ibu dan anak itu saling tatap dengan tatapan penuh dengan emosi. Mata Janis terasa panas dan ia buru-buru naik keatas untuk segera masuk kekamarnya, meninggalakan maminya yang masih berdiri mematung menatapnya pergi meninggalkannya. Hingga selesai makan malam mami dan Janis tak bertegur sapa, hanya sesekali mami mencuri pandang kepada Janis sedang Janis hanya menunduk dan menyelesaikan makan malamnya dengan cepat lalu buru-buru masuk kedalam kamarnya.
                Janis menangis didalam kamarnya, ia tak menyangka maminya dapat mengatakan hal itu padanya. Dan yang membuat Janis merasa bersalah adalah ternyata maminya mengetahui semua yang slama ini ia tutupi, masalah hubungannya dengan Jerry. Janis merasa bersalah karna tlah membentak maminya dan mengatakan maminya tidak peduli terhadap apa yang ia rasakan. disaat yang bersamaan mami ingin mengetuk pintu kamar Janis namun saat mendengar Janis menangis, mami mengurungkan niatnya.
                Keesokan harinya.
                “ Mi, Janis mau minta maaf sama mami. Janis udah salah nilai mami, Janis…”
                “ Sssttt..(mengelus rambut anaknya) mami udah maafin kok. Mami juga mau minta maaf, mami enggak pernah bermaksud memaksakan kehendak mami, mami hanya merasa itu yang terbaik untuk kamu. (Janis memeluk maminya erat) Janis, kita cari baju mau enggak?”
                “ Shopping? Mau mi, mau banget.” jawab Janis semangat.
                Kedua ibu dan anak itu pergi berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan. Sampai disuatu toko, mami memilihkan sebuah gaun berwarna merah marun rancangan Susan Zhuang yang bergaya Cross drappery. Gaun yang simple namun berkesan mewah itu benar-benar indah saat Janis mencoba memakainya.
                “ Apa enggak berlebihan, mi gaunnya?” tanya Janis saat melihat bayangannya dicermin.
                “ Enggak kok. Kamu bener-bener cantik pake gaun itu sayang..”
                “ Emang mau kemana sih mi? Sampai beli gaun kayak gini, kayak mau ikut Amy Award aja.” sungut Janis yang risih dengan gaun yang menurutnya seperti artis yang akan pergi ke acara penghargaan bergengsi.
                “ Kita mau ke acaranya Yoga besok malam.”
                “ Acara Yoga? Bukannya ulang tahunnya udah lewat, mi?”
                “ Bukan ulang tahun tapi acara pertunangannya.”
                JEDEEERRRRRR……!!!!!!! Janis mematung untuk beberapa saat, matanya panas, ia ingin sekali menangis namun ditahannya. Buru-buru ia kembali ke fitting room untuk mengganti gaun itu dengan baju semualanya. Janis bercermin melihat wajahnya sendiri, ia benar-benar seperti debu yang diterbangkan angin sekarang. Ia menunduk menitikan beberapa tetes air mata lalu buru-buru menghapusnya dan meyakinkan dirinya sendiri kalo dia adalah wanita yang kuat. Janis keluar dari fitting room dan maminya membungkus gaun merah marun itu sementara maminya memilih gaun berwarna biru dan memilihakan Cendy gaun berwarna merah marun juga yang bergaya empire dress.
                “ Acaranya kapan, mi?” tanya Janis lesu.
                “ Besok malam jam tujuh di Universal Hotel. Kamu harus tampil cantik besok, jadi sorenya kita mesti kesalon.”
                “ Buat apa tampil cantik?”
                “ Itukan acara formal, undangannya banyak banget jadi kamu harus keliatan beda dong, siapa tau dapat jodoh disana.” ledek maminya sembari membayar total gaun itu dengan credit card.
                Janis hanya memaksakan sebuah senyuman. Ia berjalan mengikuti maminya menuju toko sepatu. Setelah membeli sepatu mereka berduapun pulang. Janis langsung masuk kedalam kamarnya, ia ingin menelpon Tami untuk bercerita namun ia urungkan niatnya itu. Janis memilih untuk menangis sendiri didalam kamarnya. Mami yang ada didepan pintu kamarnya hanya bisa mengulum senyum melihat semuanya dan turun menuju kamarnya.

* * *

                Janis datang ke Universal Hotel bersama keluarganya, dipintu masuk ia berpapasan dengan Cindy yang mengenakan gaun satin berwarna merah terang. Cindy tampak cantik dan anggun dalam balutan gaun satin itu. Janis merasa apa yang dikatakan maminya tentang Cindy itu benar, ia benar-benar perfect malam ini. Ia berusaha melempar senyum seramah mungkin dengan Cindy dan terus masuk kedalam ruangan yang dekorasinya bernuansa merah marun dan putih. Ia tersenyum melihat dekorasi ruangan ini yang sangat indah, begitu banyak bunga mawar merah dalam ruangan yang mulai dipenuhi para undangan itu hingga matanya melihat Yoga yang sedang sibuk berbincang dengan seorang temannya. Lama ia menatap Yoga yang terlihat tampan dan gagah dengan balutan jas putih dan celana putih. Yoga menatap Janis untuk beberapa menit lalu kembali mengobrol dengan temannya itu dan tak lama Cindy menghampirinya dan mereka tampak akrab mengobrol.
                Janis yang tak kuasa melihat adegan itu buru-buru mencari minum dan menjauh dari tempat itu. Ia benar-benar merasa kecil saat melihat Cindy dan Yoga berdampingan, yah.. mereka pasangan yang sangat serasi. Dua calon dokter yang sangat mempesona. Pukul tujuh tepat acarapun dimulai, papa Yoga tampak berdiri tegap didepan microphone dan bersiap untuk membuka acara pertunangan itu.
                “ Selamat malam saya ucapkan untuk para undangan sekalian. Malam ini saya mengucap rasa syukur yang begitu besar untuk anugrah yang diberikan Tuhan malam ini pada saya dan istri saya yang dapat menyaksikan acara pertunangan anak kami satu-satunya, Yoga Permana.” Tepuk hadirinpun membahanana kesluruh ruangan setelah papa Yoga membuka salamnya. “ Untuk itu, tanpa menunda waktu lebih panjang lagi acara pertunangan ini saya mulai.”
                Papa Yoga segera menjauh dari microphone dan bergabung dengan para undangan yang lainnya, Yoga segera naik ketempat yang tlah tersedia untuk acara pertunangannya. Yoga berdiri tegap, menebar pandangan ke sluruh penjuru dan memberikan kode pada lighting. Ruangan mendadak gelap, hanya Yoga yang bersinar saat itu, ia berdiri begitu menawan sembari mangatur nafasnya.
                “ Terima kasih saya ucapakan atas kehadiran para tamu undangan yang tlah datang malam ini pada acara pertunangan saya yang akan segera dimulai. Sebelumnya saya ingin mengatakan betapa beruntungnya saya diberi kesempatan untuk memiliki dan mengikat hubungan diantara kami dalam sebuah ikatan pertunangan pada malam ini. Wanita cantik, yang saya harap dapat menjadi istri saya kelak dan wanita yang akan berdiri untuk saya semitkan cincin dijari manisnya itu adalah…” Janis tertunduk lemas, ia benar-benar hanya bisa pasrah. Ia berharap dirinya dapat menghilang kekutub utara sekarang juga. Cindy yang tlah berdiri anggun disamping ayah Yoga benar-benar membuat Janis ingin menghilang dari tempat itu. Janis tak dapat memastikan apa ia akan kuat saat mendengar Yoga menyebutkan nama Cindy. “ Adalah..  JANISA EL-KARIM.”
                Sorot lampu terpecah menjadi dua, sorot lampu yang lainnya memfokuskan pada Janis yang sedang berdiri menganga tak percaya bahwa namanya yang tlah disebut oleh Yoga. Tepuk tangan dari para tamu undangan tak mampu manyadarkannya, dalam pikirannya ia masih berpikir ini pasti sebuah mimpi, ia tak percaya dan tak mampu bergerak, badannya mendadak kaku, wajahnya benar-benar melongo. Hingga sebuah ciuman hangat mendarat dipipi kananya, ciuman dari mami tersayangnya menyadarkannya dari rasa ketidapercayaannya. “ Selamat ya sayang..” seru maminya yang semakin menyadarkan Janis bahwa ini bukan mimpi.
                Perlahan ia melangkah menaiki tangga menuju tempat dimana Yoga tlah berdiri menantinya dengan sebuah kotak kecil berwarna merah. Janis masih tak percaya, sesekali ia melihat kebawah, melihat keluarganya, melihat keluarga Yoga dan melihat Cindy yang tersenyum ramah sambil bertepuk tangan. Janis berhenti tepat didepan Yoga. Lalu Yoga membuka kotak itu dan menyemitkan cincin putih bermata ruby itu dijari manis Janis. Riuh tepuk tangan kembali memecah ruangan dan dengan tertatih dan gugup Janis mengambil cincin yang lainnya dan membalas menyamitkan cincin itu di jari manis Yoga.
                Janis berusaha tersenyum diantara rasa tidak percayanya, bingungnya, dan rasa-rasa yang lain yang membaur manjadi satu, menjadi tak menentu. Yoga mencium kedua tangan Janis lalu merangkul pinggangnya hangat dan mambawanya turun untuk menemui masing-masing keluarga. seiring turunnya mereka dentingan piano dan biola mengalun menambah semaraknya suasana saat itu, menemani para tamu undangan dalam menikmati hidangan, menemani Janis yang masih bingung tidak percaya. Janis tak mampu berkata apapun sampai Yoga membawanya ke balkon luar ruangan itu.
                “ Kamu kenapa diem?” tanya Yoga sambil menatap langit malam yang penuh bintang.
                “ Gue, gue, gue enggak ngerti.” jawabnya bingung.
                “ Bagian mana yang kamu enggak ngerti?” tanya Yoga sambil tersenyum.
                “ All of this part dan ‘kamu’ lo manggil gue pake ‘kamu’?” Janis menatap Yoga bingung.
                “ Hey, kamu enggak mimpi sekarang, this is real! (menggamit pipi Janis pelan) sekarang itu kamu tunangan aku, calon istri aku, pasti aku akan lebih sopan dengan kamu jadi.. aku enggak bisa seenaknya manggil kamu kayak dulu.”
                “ Bukannya lo harusnya tunangan sama Cindy?”
                “ (tertawa) enggak. Itu semua hanya sandiwara, sebuah drama kecil yang kami mainkan.”
                “ Kami?”
                “ Yah, aku, mami kamu, papi kamu, mamaku, papaku, Cindy, dan… Tami.”
                Janis melongo tak percaya mendengarnya. Dan yang paling mebuatnya tak percaya ternyata Tami juga mengetahui masalah ini, pantas saja setiap kali ia ingin bercerita tentang Yoga dan Cindy Tami slalu bersikap bingung harus bagaimana, padahal anak itu slalu punya banyak ide dan slalu mebantu memecahkan masalah Janis biasanya. Ternyata mami dan papinya sengaja mebuatnya menderita selama hampir sebulan ini untuk acara ini, mempermainkannya untuk kejutan ini. Janis ingin menangis rasanya saat mengetahui ini semua, menangis kesal dan bahagia tentunya.
                “ Aku minta maaf kalo udah nyakitin kamu slama ini dengan sikap aku yang terkesan enggak peduli sama kamu. Itu semua untuk acara besar ini, aku harus bersikap seperti itu untuk menipumu. Sebenarnya aku enggak tega tapi mami kamu terus maksa aku untuk tetap menjalankan rencana ini.” mengusap pipi Janis lembut. “ Kamu cantik malam ini.” pujinya sambil tersenyum.
                “ Kamu harus ikut aku temui mami.” Janis menarik Yoga mencari mencari maminya. Saat mendapati maminya, Janis langsung menepuk pundaknya. mami berbalik dan menciumi Janis dan memberi slamat kepada Yoga. dan nyerocos panjang lebar.
                “ Maaf ya sayang slama ini mami udah ngerjain kamu, habis mami gregetan sih liat kamu yang gengsian. Mami cuman pengen kamu ngaku kalo kamu juga suka sama Yoga tapi kamu enggak ngakuin juga padahal kamu udah ngaku sama Tami tapi didepan mami kamu slalu sok tegar, akhirnya beginilah jadinya. (tertawa) Pilihan mami enggak salahkan? dan kamu harus mengakui perjodohan mami itu adalah ide yang sangat bagus.”
                “ Mami tuh..-”
                “ Mami tuh cuman pengen liat kamu seneng yah walau mami akuin caranya memang sedikit keterlaluan tapi jadi surprisekan?! Makanya lain kali kalo mami jodohin tuh terima aja, mami ini mami kamu pasti tau selera anaknya yang kayak gimana.”
                “ Mami! Ini tuh eranya Angelina Jolle sama Bred Pitt mi bukan Datuk Maringgi sama Siti Nurbaya.” protes Janis kesal.
                Mami, papi, mama, papa dan Yoga tertawa mendengar protes dari Janis. malam itu adalah malam yang indah sekaligus membingungkan untuk Janis. Setelah lulus kuliah Janis tlah dipersiapkan untuk menikah dengan Yoga yang saat itu harus sudah selesai dengan kuliahnya.
                 Di tempat lain Cendy dan seorang teman sebayanya sedang bermain bersama.
                “ Rian, kita tunangan juga yuk kayak kakakku, Kak Janis. gimana?” ajak Cendy polos dengan teman bermainnya itu. Teman Cendy itu hanya menatap Cendy dengan wajah bingung.

* * *