Pertemuan Dua Hati
Sebelumnya aku
hanya terus menyimpan namanya (mantan kekasihku), wajahnya, dan semua kenangan
bersamanya jauh didalam hatiku. Hingga
saat aku merasa menemukan hidupku bersama laki-laki pilihanku, aku masih
terus menyimpannya didalam hatiku dan tak pernah terlupa walau satu
milimeterpun, tak pernah. Lantas apa aku tlah mengkhianati lelakiku dengan
rahasia yang terus kusimpan? Apa aku dapat dibilang tlah mendustai ikatan suci
yang tlah terjalin diantara kami?
* * *
Ceritanya dimulai pada bulan
Oktober, yah.. tepatnya 17 Oktober lalu. Aku baru saja pulang berbelanja
kebutuhan bulanan yang sengaja kubeli setelah aku pulang dari kantorku.
Biasanya aku belanja bulanan bersama Zizi suamiku, namun bulan ini tidak karna
dia memastikan dirinya akan lembur dan baru akan pulang pukul sembilan malam
nanti. Aku membawa blanjaanku dengan trolli yang kudorong menuju depan mall
untuk mencari taxi. Saat aku sedang mendorong sambil meminum vannila latteku
tiba-tiba seorang pria menabrakku hingga vannila latte tumpah membasahi
blezerku. Sambil bersungut aku mencoba mengelap bajuku dengan tissue yang
kuambil dari dalam tasku.
“ Gimana sih, enggak bisa liat
ya? Selain menggunakan kaki jalan itu juga harus menggunakan mata supaya enggak
nabrak orang sampai kayak begini. Basahkan baju saya jadinya! Lain kali
hati-hati mas, untung cuman minuman coba tadi saya bawa air raksa, bisa ancur
badan saya bukan cuman bajunya.”
“ Maaf mba, maaf.. saya enggak
sengaja, saya buru-buru soalnya.”
“ Apa cuman anda yang terburu-buru?
Saya juga, saya mesti cepat pulang kerumah sa....- (tertahan) ya…” aku
menatapnya bingung sembari mengerutkan keningku. Diapun melakukan hal yang sama
denganku, kedua matanya sengaja disipitkannya. Kami terdiam untuk beberapa
detik. Lalu aku meninggalkannya begitu saja sambil terus mengingat siapa pria
barusan yang menabrakku.
Setelah beberapa langkah darinya
tiba-tiba aku ingat siapa pria itu, aku berbalik dan dengan cepat memanggil
namanya dan hal yang samapun dilakukannya padaku. Yah.. kami saling meneriaki nama
lawan kami. Aku lalu tersenyum tak percaya dengan apa yang kulihat. Dengan
cepat ia menghampiriku sembari menjabat tanganku.
“ Hei.. apa kabar? Udah lama
banget yah kita enggak ketemu!” serunya antusias.
“ Baik. Aku, aku enggak percaya
bisa ketemu kamu lagi. (tertawa memaksa) ee.. ini benar kamu?” tanyaku
penasaran.
“ Oh, come on.. apa aku harus
nunjukin KTP sama kamu supaya kamu yakin? Aku juga enggak nyangka bisa ketemu
kamu, surprise banget rasanya..” tuturnya dengan wajah yang merona bahagia.
“ (tertawa pelan) gimana
ceritanya kamu bisa ada disini?”
“ Panjang banget ceritanya,
lagian aku buru-buru nih, ada janji ketemuan di foodcart. Ini kartu nama aku,
aku enggak mau tau pokoknya nanti malam jam sembilan kamu mesti hubungin aku,
Ok.!” Bersiap pergi meninggalkanku.
“ Tapi…” kalimatku tertahan.
“ Enggak ada tapi-tapian, aku
buru-buru banget nih. Aku tunggu telpon kamu.” Ujarnya sembari buru-buru
meninggalkanku menaiki eskalator yang letaknya tak jauh darinya.
Aku terdiam mematung melihatnya
menaiki eskalator, dan sempat ia berbalik melihatku sambil menunjukkan jari kelingking
dan jempolnya yang kemudian digerakkan tanda telpon lalu bibirnya berkata pelan
yang dapat kubaca walau jauh “ jangan lupa telpon.” Aku tersadar ketika dia melesat
diantara kerumunan orang diatas. Sepanjang perjalanan menuju rumah aku terus
memikirkan peristiwa tak sengaja pertemuan kami itu. Aku sampai tersenyum
sendiri dibuatnya didalam taxi.
Setelah mengemasi blanjaanku,
aku duduk dimeja makan. Tanganku tak henti membolak-balik kartu nama itu, rasa
tak percaya masih menyelimuti pikiranku. Kulihat jam dihandphoneku, pukul 19.47
menit. Tak sabar rasanya menunggu waktu yang dijanjikan, lagi-lagi aku
dibuatnya tersenyum sendiri. Aku lalu mandi dan mengganti pakaianku, setelah
itu kurelaxkan tubuhku diatas kasurku, sekali lagi kulihat jam yang ada diatas
meja disamping ranjangku, pukul 20.26 menit. Gelisah aku dibuatnya menanti
waktu itu, untuk kesekian kalinya aku kembali tersenyum sendiri sambil
membolak-balik kartu nama yang berwarna jingga itu. Sambil menanti waktu itu
aku menyibukkan diriku dengan menonton acara di tv ditemani stik keju dan
softdrink.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka
dan masuklah laki-laki yang kuserahkan sluruh hidupku dan kuberikan semua pengabdianku
untuknya, laki-laki yang kupercayai mampu menjadi imamku, yah.. suamiku
tercinta. Langkahnya tertahan melihat raut wajahku yang melihatnya dengan wajah
kaget. “ Kayak liat setan aja non?” serunya sambil tersenyum. Dia naik keatas
kasur dan duduk disampingku lalu mencium keningku mesra. “ Kamu udah makan?”
tanyanya sambil mengambil stik keju yang ada dalam pelukanku.
“ Udah.” Jawabku sambil
tersenyum.
“ Kamu kenapa kaget liat aku
datang? Emang enggak denger suara mobil aku?” sambil mengendorkan dasinya.
“ Enggak, makanya kaget
(membantu melepaskan dasi dan membuka kancing atas kemejanya) Mandi gih, lusuh
gitu.”
“ Ya udah, aku mandi dulu ya
sayang.” Jawabnya sambil tersenyum. Ia melepas semua pakaiannya dan melilitkan
handuk dipinggangnya. Sebelum ke kamar mandi ia sempat menggodaku dengan
mematikan tv. Aku melemparnya dengan stik keju sambil meneriakinya dan
buru-buru ia masuk kedalam kamar mandi sambil terkekeh. Aku pun tertawa
dibuatnya, suamiku itu ada-ada saja tingkahnya. Tanpa sengaja aku melihat jam
yang sudah menujukkan pukul setengah sepuluh, bergegas aku mencari kartu nama
jingga tadi dan handphoneku.
Aku keluar dari kamar dan duduk
dibalkon rumahku. Kutarik nafas panjang lalu dengan mantap kutekan nomor-nomor
yang tertera di kartu nama itu. Jantungku berdegup kencang saat mendengar nada
tut.. yang terdengar. Lalu telponpun diangkat.
“ Hallo?” sapa suara disebrang sana.
“ Hai..” balasku.
“ Kok lama? Dari tadi aku
nungguin telpon kamu. Kamu telat setengah jam.”
“ Oh ya?! Maaf, tadi aku
keasikan nonton sih..”
“ Masih suka nonton? Enggak
berubah ya?”
“ (tertawa kecil) itukan hoby
namanya, emang bisa berubah?”
“ Bisa dong seiring berjalannya
waktu dan berkembangnya cara berpikir kita.”
“ Ok, nyerah. Masih tetap jago
ngomong kayak dulu.” Tertawa
“ Itu namanya bakat, Bodo.”
Jantungku seakan berhenti berdetak ketika ia mengucapkan panggilan sayang kami
saat masih pacaran dulu. Aku terdiam untuk beberapa menit. “ Kenapa diam? Masih
disitukan?”
“ Aa..aa.. masih kok, aku kaget
aja waktu denger kamu ngomong kayak gitu. Kamu masih…” kalimatku tertahan.
“ Selamanya. Enggak satupun
kisah kita yang terlewat gitu aja diotakku.” Dia menyambar cepat omonganku
sebelum aku selesai.
Tiba-tiba Zizi memanggilku dari
kamar dengan setengah berteriak. Aku dengan cepat memasukkan kartu nama dan handphoneku
kedalam saku celana tidurku dan tak lupa menHoldkan telponku. Zizi keluar dari
kamar dengan menggunakan piyamanya, sambil mengeringkan rambutnya yang basah
dengan handuk. Ia berjalan mendekatiku lalu mencium pipiku lembut. Wangi mint, sabun
yang ia gunakan seketika menusuk indra penciumanku.
“ Kamu ngapain disini?” tanyanya
sambil terus menggosok rambutnya dengan handuk.
“ Lagi nyari angin aja. Kamu
enggak istirahat?”
“ Maunya sih gitu tapi aku
maunya sama kamu.” Rayunya sambil mengecup bibirku.
“ (melepaskan ciuman itu) kamu
masuk aja dulu, nanti aku nyusul.” Melempar senyum padanya.
“ Ok. Hati-hati masuk angin yah,
aku tunggu kamu.” Senyumnya nakal padaku. Aku tertawa melihatnya sambil
menggelengkan kepala.
Setelah kupastikan dia masuk
kedalam kamar lalu kusambung telponku. “ Kenapa di hold?” tanyanya cepat.
“ Aah? Mm..enggak ada apa-apa.
oh iya, tadi kamu belum cerita, gimana bisa kamu nyampe sini?”
“ Aku lagi ngurusin kerjaan.”
“ Kamu kerja dimana sekarang?”
“ Aku kebagian ngawasin salah
satu provider seluler disini.”
“ Kepala cabang maksudnya?”
“ He’e, kamu sendiri?”
“ It’s awesome, greet! Aku kebagian
assisten manager officer di salah satu kantor cabang sorum mobil.”
“ It’s not your dream alright?”
“ Memang, tapi aku senang kerja
disana. Dan setiap hari sabtu aku jadi konselor di salah satu sekolah menengah
atas.”
“ Gimana bisa?”
“ Kepala sekolahnya tantenya
temanku, jadi aku dimintai tolong sama beliau, baru dua bulanan aku disana.”
“ Ok. You have time to make a
lunch or dinner?”
“ I think dinner it’s not but
lunch? I guess yah..”
“ When and where?”
“ How about tomorrow?”
“ Ok. Jam makan siang aku tunggu
di foodcart di mall tadi kita ketemu, gimana?”
“ Ok, I’ll see you soon!”
“ Ok, good night.”
“ And for you.”
“ Aku enggak sabar nunggu
besok.”
“ (tertawa) bye..”
“ Bye.” Telpon ditutup.
Dan untuk kesekian-sekian
kalinya aku dibuatnya tersenyum sendiri. Aku menghirup udara malam untuk sesaat
lalu ku netralisir hatiku agar tidak menimbulkan pertanyaan ketika aku masuk
kamar nanti. Saat aku masuk kamar kulihat Zizi telah tertidur pulas diatas
ranjang dengan tv masih menyala. Kumatikan tv itu dan kubetulkan letak selimutnya
sambil mengecup keningnya lalu akupun tidur disampingnya.
* * *
Waktu yang dijanjikan.
Aku datang
menemui Rangga di foodcart, aku celingak-celinguk untuk sesaat lalu dia
melambaikan tangannya. Melihat lambaian itu aku lalu menghampirinya dan duduk
tepat didepannya. Baru saja kami bersay hallo tak lama pelayan pun datang
dengan membawa segelas cappucino blend, sepiring nasi goreng tanpa sayur,
segelas es jeruk, dan sepiring somay yang bumbunya dipisah dengan kecap yang
banyak. Aku kaget melihat menu yang dihidangkan didepanku sementara Rangga tlah
meneguk es jeruk miliknya.
“ Kenapa? Masih sukakan?”
“ Iya sih, aku cuman…”
“ Enggak nyangka kalo aku masih
ingat? Aku udah bilangkan, enggak ada sedikitpun yang terlewat begitu aja
tentang kamu di otak aku.” Sekali lagi, jantungku seakan berhenti berdetak
namun kali ini ditambah darahku yang mengalir cepat ditambah kali ini sensasi
panas seketika kurasa mengisi sluruh wajahku. Kembali aku terdiam karna salah
tingkah. “ Dimakan dong, ntar dingin lagi.”
Akupun menyantap makanan itu.
Sambil makan kami bercerita banyak hal hingga selesai makanpun cerita itu belum
juga selesai. Mulai dari pekerjaan sampai hal-hal konyol teman-teman kami
dikantor. Tiba-tiba keadaan hening sesaat, aku letih tertawa dari tadi. Karna
situasi ini sangat tidak nyaman akhirnya kuputuskan untuk membuka pembicaraan.
“ Udah berapa tahun pernikahan
kamu sama dia?”
“ Dia? Dia siapa?” tanyanya
bingung.
“ Wanita yang ketika tanggal 24
maret kamu lamar dan kalian resmi bertunangan.”
“ Elsa maksud kamu? Pernikahan
kami enggak berjalan baik, kami hanya bertahan selama dua tahun dan setahun
yang lalu kami memutuskan untuk berpisah.”
“ Dia enggak bunuh diri lagi
memangnya?” selidikku penasaran.
“ Kita udah sepakat, toh.. dia
sendiri yang minta digugat cerai. Untung saja kami belum sempat mempunyai anak
waktu itu.”
“ Kenapa?” tanyaku lagi.
“ Terlalu rumit untuk diceritain
dan itu panjang banget ceritanya.”
“ Aku punya banyak waktu buat
dengerin semuanya.” jawabku meyakinkannya.
“ (tertawa) Buatku semuanya udah
selesai, jadi.. aku males mau ngebahasnya lagi. Jangan tersinggung, buat aku
yang udah selesai itu enggak perlu dibahas lagi.”
“ Aku ngerti.” Mengulum senyum.
“ Thanks.”
“ Jadi siapa sekarang istri
kamu?”
“ Masih menduda (tertawa)
rencananya sih mau ngelamar yang lagi duduk didepan aku.”
“ Kalo kamu mau jadi suami kedua
aku sih enggak apa-apa.” tertawa.
“ Did you have been married?”
senyum lengkungnya tiba-tiba mengerut menjadi raut wajah penuh tanya.
“ Yes, I did.” Lama ia menatapku
yang masih tertawa hingga aku merasa terganggu dengan mata itu. “ What’s
wrong?”
“ Nothing. I just surprise to
hear that. But, I don’t see your ring!” menatap jari-jari ditangan kananku.
“ Ofcourse you not. This is the
ring.” Mengeluarkan kalung yang bermatakan cincin putih yang berukir dengan permata hitam kemerah-merahan
ditengahnya.
“ Selalu enggak pernah pas?
(tersenyum lebar) masih enggak berubah juga ternyata.”
“ It’s not a big problem I
think.”
“ Suamimu kerja apa?”
“ Engineering. Do you wanna to
know him?”
“ I think it’s not a good idea,
I’m sorry.” Raut wajahnya berubah lagi.
Selesai makan siang dia kembali
mengantarku kekantorku. Sepanjang perjalanan kami tak henti-hentinya bercerita
seperti tak pernah ada cerita yang selesai diantara kami. Aku seperti
dihadirkan kembali pada kisah cinta kami yang terjalin beberapa tahun yang lalu
selama hampir dua tahun.
Sudah lama aku rindu dengan
wajah itu, tawanya, suaranya, dan semua hal tentangnya. Melihatnya tertawa
adalah anugrah yang lama hilang dan kini kembali, kuingin waktu berhenti
rasanya. Perasaan apa ini? Aku, aku tak dapat menahan air mataku untuk jatuh.
Tiba-tiba dia menepikan mobilnya disisi kiri jalan.
“ Ada apa?” tanyanya bimbang mengusap air
mataku.
“ Enggak ada apa-apa kok.”
Jawabku sambil berusaha tersenyum dan menghapus air mataku sendiri.
“ Aline..” tangan sebelahnya
menggenggam tanganku dan tangan yang lain mengangkat daguku. Matanya menatap
mataku. Sorot mata itu, tlah lama pula kurindukan, sorot mata yang menenangkan.
Matanya seolah mampu memaksaku untuk berbicara walau aku tak ingin.
“ Aku hanya, aku hanya merasa
tiba-tiba semuanya kembali..” kali ini air mataku mengalir deras.
“ (mengusapnya dengan jemarinya
sambil tersenyum) aku senang akhirnya kamu mengatakan kalimat itu. Aku hanya
bisa mengatakan maaf, maaf aku tak mampu jadi yang terbaik dan harus pergi
meninggalkanmu.” Ia memegang kepalaku dan menunduk.
“ (menggeleng) apapun yang
terjadi aku slalu bahagia pernah bisa bersamamu. Kamu bukan meninggalkanku itu
bukan kemauanmu, kita hanya tak dizinkan bersama lantaran kamu harus ikut
bersama ayahmu dan berujung dengan pertunangan itu. Aku sadari hal itu.”
“ Maafin aku..” menarik badanku
dalam pelukannya. Aku smakin menjatuhkan cucuran air mataku.
Tuhan, apa aku salah? Apakah aku
tlah berselingkuh? Menghianati Zizi? Namun aku tak mampu menutupi perasaan ini,
aku, aku kembali hidup bersamanya yah.. hidupku yang dulu penuh warna seakan
dikembalikan lagi oleh kehadirannya kembali keduniaku. Tuhan.. aku tau aku
berdosa..
* * *
Di meja makan aku hanya bisa
menatap Zizi yang sejak tadi menceritakan pekerjaannya dengan antusias. Aku
merasa tlah menghianatinya atas perasaan ini namun aku tak mampu berbuat
apa-apa. Rangga benar-benar membutakan hatiku yang dulu hanya ada Zizi.
“ Sayang? Kamu enggak apa-apa?
apa kamu sakit?” tanya Zizi bimbang.
“ Ha?? Enggak kok.” Menyuapkan
sesendok nasi kemulutku.
“ Kalo baik-baik aja kenapa
sejak tadi kamu diam? Apa kamu mendengarkanku?”
“ (menghela nafas panjang) aku
enggak apa-apa kok ( menggenggam tangan Zizi) Maaf ya, aku cuman lagi enggak konsen
aja hari ini.” Aku berusaha meyakinkannya dengan tersenyum.
“ Kenapa? Ada masalah dikantor?”
“ Sedikit. Tapi kamu tenang aja,
aku bisa ngatasinnya kok.” Mengelus tangannya lalu melanjutkan makanku.
Aku tau, Zizi sedang menatapku
dalam mungkin ia sedang mencoba membaca hatiku atau sejenisnya. Perasaan ini
benar-benar menggangguku. Selesai makan aku mengerjakan tugas kantorku yang
kubawa pulang kerumah didalam kamar. Aku membuka e-mailku yang sengaja ku
minimize, karna aku tak ingin Zizi tau bahwa Rangga barusan meng e-mailku.
“ Sayang, kamu kok belum tidur?
Ini udah jam duabelas lho..”
“ Belum selesai kerjaannya,
besok aku udah mesti ngasi laporan ini sama atasanku.”
“ Tapi enggak usah diporsir yah,
aku khawatir nanti kamu sakit..” mengelus rambutku.
“ Pasti.” Jawabku sambil
melempar sebuah senyuman hangat padanya.
Aku baru tertidur pukul dua
pagi. Sepanjang malam itu aku hanya mengerjakan tugasku sambil terus
email-emailan dengan Rangga. Pukul delapan aku pergi kekantor dengan diantar Zizi
yang juga sekalian akan kekantornya. Saat makan malam bersama Zizi, dia
mengatakan akan keluar kota
selama dua minggu untuk sebuah proyek. Aku kaget mendengarnya, sebenarnya aku
tak ingin Zizi pergi karna aku takut ini semua akan menjadi awal dari sesuatu
yang salah namun aku juga tak dapat membantahnya karna aku tau ini bukan kemauan
Zizi.
Aku sedang menonton DVD
sendirian di ruang keluarga saat Zizi datang dan duduk disampingku. Ia
merangkulku dengan hangat. Sebenarnya tak ada alasan untukku menghianatinya karna
Zizi sangat baik kepadaku, dia adalah suami yang benar-benar mengerti aku. Dia
rela menemaniku menonton film-film Taiwan yang berepisode-episode
padahal ia tak menyukai film-film seperti itu, ia selalu berusaha mengerti
sifatku yang moodyan, dia bahkan terlalu baik untuk ku hianati cintanya. Yah..
dia terlalu baik.
“ Kenapa akhir-akhir ini aku
ngerasa kamu sering diam ya? Kamu bener baik-baik aja?” tanyanya membuka
pembicaraan diantara kami.
“ Mungkin karna akhir-akhir ini
aku sibuk dengan kerjaanku. Maaf ya..”
“ Aku sih enggak apa-apa kalo
kamu sibuk dengan pekerjaan kamu asal jangan sibuk dengan laki-laki lain aja.”
Godanya sambil mencolek pipi kananku.
JEDEERRRRRRR!!!!!!! Aku seperti
tersambar petir malam itu. Pikiranku kacau tiba-tiba, apa mungkin dia tau
tentang kedekatanku dengan Rangga? Aku lalu mencoba untuk tenang dan
menatapnya.
“ Memangnya kalo aku sibuk
dengan laki-laki lain kenapa?” tanyaku usil.
“ Aku, aku enggak pernah mikir
sampai kesitu. Aku juga enggak tau aku mesti gimana kalo sampai itu terjadi.
(memegang kedua pundakku) sayang, aku, aku hanya bisa bilang kalo aku
mencintaimu lebih dari kehidupanku ataupun kecintaanku dengan pekerjaanku. Aku
hanya mau kamu tau itu.”
“ Aku percaya.. itukan yang
mendasari kamu nikahin aku?”
“ (tersenyum) aku enggak bakal
tinggal diam aja kalo kamu sampai direbut laki-laki manapun.” Aku tertawa
mendengarnya. Kami saling pandang untuk beberapa saat lalu dia menciumku mesra
dan kami melanjtkannya diatas ranjang. Malam itu adalah mlam terakhir aku bercinta
dengannya untuk dua minggu kedepan.
Pagi-pagi sekali aku mengantarnya
kebandara untuk berangkat keluar kota,
untuk terakhir kalinya selama dua minggu kedepan dia menciumku hangat. Setelah
mengantarnya aku kembali kerumah untuk bersiap berangkat kekantor. Malam ini
akan menjadi malam pertamaku tanpa Zizi pikirku dalam hati.
Makan siang bersama Rangga,
masih dihari yang sama.
“ Jadi, kamu selamanya tinggal
disini?”
“ Enggak. Aku itu disini cuman
ngisi kursi kosong kepala cabang. Jadi sifatnya hanya sementara, sebenarnya aku
itu Public Relationship di Semarang jadi suatu hari nanti aku bakal balik lagi
kalo posisi ini udah ada yang nempatin. Kenapa memangnya?”
“ Cuman tanya aja.”
“ Kirain berharap aku slamanya
disini.” Tersenyum menggodaku.
“ Ikh, PD’y kok enggak
ilang-ilang dari dulu.”
“ (tertawa) tapi suka kan kamu. Ekh, mau enggak main kerumah aku?”
“ kamu beli rumah?”
“ Bukan rumah aku sih tapi rumah
perusahaan aku. Kan
tadi aku udah bilang aku itu disini sementara jadi enggak mungkinlah aku beli
rumah termasuk mobil yang aku pakai tiap siang buat ngajakin kamu makan itu.
Itu semua cuma pinjaman dari tempat kerja aku. Jadi gimana? Mau enggak?”
“ Bisa aja. Malam minggu besok
gimana?”
“ Malam minggu? Emangnya kamu
enggak sama suami kamu?”
“ Dia lagi keluar kota. Dua minggu disana.”
“ Menjanda dong sekarang?”
godanya sekali lagi.
“ Sembarangan kalo ngomong.”
“ Tenang! Aku siap kok disuruh
nikahin kamu, sekarang juga aku siap.” Ujarnya sambil tertawa.
“ Apaan sih..” jawabku tersipu
malu.
“ Mmm, tadi kamu bilang suami
kamu keluar kotakan?”
(mengangkat kedua alis mata
sambil memasukkan sesendok mie tiaw kedalam mulut)
“ Malam minggu keluar mau
enggak?”
“ Mau kemana emangnya?”
“ Aku mau ngajak kamu kerumah
aku, dinner dirumah aku. Nanti aku bakal bikin masakan special buat kamu,
gimana?”
“ Emang kamu bisa masak? Ntar
yang ada aku keracunan lagi..”
“ Ngeremehin, kalo enak brani
kasi aku apa?”
“ (mengerutkan kening) aku deh
yang nyuci piringnya.”
“ Ok, deal.” Menjulurkan
tangannya dan akupun menjabat tangannya. “ Aku jemput kamu jam setengah lima.”
“ Enggak keawalan buat dinner?”
“ Aku bakal masak khusus buat
kamu jadi kamu tinggal duduk manis dimeja makan dan aku yang bakal masakin,
makanya mesti sore.”
“ Ok.” Jawabku singkat.
* * *
Sabtu sore yang tlah disepakati.
Aku baru saja
selesai mandi saat mendengar bel berbunyi. Dengan menggunakan kimono aku
membuka pintu depan dan mendapati Rangga tengah berdiri dengan kemeja biru muda
lengan panjang, celana hitam, dan sepatu pantofel hitam mengkilat. Dia tengah
membuka kaca mata hitamnya saat aku berjalan untuk membukakannya pagar. Sore
ini Rangga terlihat sangat rapi, gayanya benar-benar perlente. Aku memang slalu
melihatnya rapi setiap kali ia kekantor namun kali ini ntah mengapa ada yang wah
dimataku. Sesuatu yang membuatku berdecak kagum melihatnya ditambah wangi
parfumenya yang masih sama seperti dulu, yah.. wangi yang sangat ku hafal.
Aku mengajaknya masuk dan
menunggu didalam rumah sedang aku bersiap-siap. Kupersilahkan ia duduk di ruang
tamu dan menunjukkan beberapa majalah yang dapat ia baca selagi menungguku.
Tiba-tiba saja aku begitu bersemangat untuk berpenampilan cantik didepannya,
aku mulai memoleskan bedak, eye shadow, blush on, dan lipstik bewarna bibir
serta menambahkan eye liner dan maskara dimataku, tak lupa pensil alis untuk
membuat alis mataku terlihat lebih hitam dan tebal. Setelah selesai bermake-up
aku sibuk memilih baju yang akan aku kenakan dan akhirnya pilihanku jatuh pada tube
dress beraksen ekstra kerut yang kemudian
kupadupadankan dengan blezer simple sebatas perut berdetail logam berwarna
gelap berbahan corduroy berlengan pendek, lalu kupasang anting-anting bulat
berbahan semi logam dan high heels bertali dengan tinggi 3cm.
Setelah siap tak lupa
kusemprotkan parfum miss-o dipakaian dan leherku. Setelah 30 menit aku turun
menemui Rangga yang sedang menungguku di ruang tamu. Dompet panjang berwarna
hitam dalam genggamanku menambah semaraknya penampilanku sore ini.
“ Maaf ya nunggunya lama.”
Sapaku mengagetkannya.
“ (dia terdiam menatapku untuk
beberapa menit) kamu (menghela nafas) disuruh nunggu dua jam juga aku rela kalo
hasilnya kayak begini. Kamu cantik, Lin..” balasnya masih menatapku.
Mendengar itu aku hanya bisa
tersipu malu. Dalam perjalanan menuju rumahnya ia memutarkan lagu James Blunt-Your
Beautiful, hanya lagu itu yang diputar berulang-ulang. Mobil itu hening sesaat.
Hingga suaranya memecah keheningan.
“ Rumah kamu bagus? Pake arsitek
ya buatnya?”
“ Temannya Zizi yang ngedisign.”
“ Bagus, aku suka. Elegant dan
enggak glamour. (senyum menatapku) kamu sendirian dirumah? Apa enggak capek
ngebersihinnya sendirian?”
“ Kalo pagi dari jam lima pagi sampai jam tiga
sore aku nyewa pembantu yang bantu-bantu aku beres-beresin rumah, pokoknya
ngerjain semua pekerjaan rumah. Jadi pulang kerumah aku udah enggak mesti
ngeberesin lagi.”
“ Bagus deh jadi kamu enggak
perlu repot lagi.”
Sampai dirumah Rangga. Dia
membawaku menuju ruang tengahnya yang berdekatan dengan dapur.
“ Kamu duduk disini aja dulu aku
mau nyiapin bahan-bahannya dulu, kalo kamu masih hoby nonton ya silahkan aja
cari kaset yang kamu mau. Oh iya, kamu masih sukakan drama taiwan atau korea?”
“ Masih. Kenapa?”
“ Kemarin malam waktu aku ke
toko kaset aku ada liat film taiwan,
mungkin kamu suka. Nonton aja.”
“ Bukannya kamu enggak suka film
taiwan?”
“ Emang.”
“ Terus kenapa dibeli?”
“ Sengaja buat kamu. Ya udah
kamu nonton aja ya aku mau mulai dulu masaknya.
Dia menggulung kemejanya lalu
menggunakan clemek. Dengan cekatan ia memotong bawang dan menyiapkan
bumbu-bumbu lainnya dan mulai memasak. Dari tempat ku duduk aku dapat menyium
wangi aroma masakannya yang membuat perutku mulai bangkit dan
berjingkrak-jingkrak minta diisi. Satu jam kemudian dia mengatakan semuanya
tlah siap. Aku terkejut saat melihat meja makan yang disulapnya menjadi begitu
wahh.. Dua lilin merah tinggi yang menyala, dan penataan meja makan yang
menarik, sangat menarik, aku tak percaya ia menyiapkan semua ini begitu cepat.
“ Silahkan dicicipi, nona..”
serunya sambil memberikan sepiring nasi goreng special.
“ Mmm.. wangi banget.”
Mendekatkan wajahku ke piring.
“ (tertawa) kalo enak kamu yang
nyuci ya piringnya.” Tersenyum dengan wajah penuh kemenangan.
Aku menyuap sesendok nasi goreng
dan rasanya enak sekali walau sedikit kurang asin, tapi ini sangat enak bila
dibandingkan dengan nasi goreng buatanku sendiri. Sepertinya malam ini aku rela
mencuci piring. Aku melahapnya dengan semangat.
“ Kayaknya ada yang nyuci piring
nih malam ini..” serunya sambil tersenyum penuh kemenangan.
“ Oke, aku akuin ini enak banget
walau sedikit kurang asin. Sesuai kesepakatan aku bakal nyuci piring buat
kamu.” Jawabku pasrah.
“ Aline, kamu masih ingat ini
enggak?” memberikan tiket bioskop padaku.
“ (mengambilnya) kamu..masih
nyimpen ini?” tanyaku kaget.
“ (mengangguk) film pertama kita
nonton bioskop. Film itukan yang bikin kamu terobsesi jadi sutradara film, film
yang bikin kamu tergila-gila sama karyanya Hanung Bramantyo.”
“ Ini udah lama banget lo, Ga..”
mengembalikan tiket itu.
“ Aku tau. Tiket itu slalu ada
dalam dompet aku slama ini.”
Aku tak tau harus merespon apa
lagi, aku hanya dapat melempar senyumku yang sedikit kupaksa, yah.. aku tak
mengerti harus tersenyum bahagia atau bagaimana. Tiba-tiba suasana yang tadi
hangat berubah menjadi hening. Yang terdengar hanyalah samar-samar suara sendok
dan garpu yang beradu dengan piring. Aku tak brani menatap wajahnya, yang dapat
kulakukan hanyalah menatap setiap butiran nasi yang sebentar lagi akan segera
habis. Untuk meneguk air putih saja aku takut, takut bila mata kami saling
bertemu dan dia dapat membaca isi hatiku sedang aku, aku tak tau apa yang
sebenarnya tlah terjadi.
Aku bangkit dari kursi dan
membawa piringku kedapurnya untuk mencucinya. Kuletakkan piring itu didalam
westafel. Aku berdiri sebentar melihat keluar jendela, hanya ada lampu taman
yang menyala dan perlahan hujan mulai turun. Gerimis. Aku melihat bayangan
Rangga yang perlahan mendekatiku dengan membawa piring dan gelas ditangannya.
Kutundukkan kepalaku, kuambil nafas dalam lalu kuhembuskan pelan. Aku berbalik
dan menatapnya dengan segenap kebranian yang tlah kukumpulkan.
“ Kamu duduk aja, aku bakal
nyuci piring ini sampe bersih.” Seruku sambil tersenyum lebar.
Dan aku mulai membasahi
piring-piring itu dengan air dan mulai mencuci. Dia berdiri disampingku dengan
meletakkan kedua tangannya di meja. Aku sengaja tak mengajaknya berbicara,
membiarkannya menatap halaman belakang rumahnya yang dapat dilihat dari jendela
yang persis ada didepanku.
“ Kamu tau, aku udah lama nunggu
saat-saat seperti ini.”
“ Saat-saat gimana maksudnya?”
tanyaku sambil terus mencuci.
“ Saat-saat aku bisa sama kamu
kayak dulu. Tapi sekarang semuanya udah berubah. Apa aku terlalu lama ninggalin
kamu? Kamu sekarang udah…(menggelengkan kepalanya pelan) pertama kali dengar
dari atasan aku kalo aku mau dimutasi untuk sementara kesini pulangnya aku
langsung loncat-loncat enggak jelas didalam kamar. Harapan aku cuman satu waktu
itu, ketemu kamu dan…-“ aku menghempaskan spon pencuci piring dalam westafel.
“ Apa kamu pikir delapan taun
itu sebentar? Kamu emang enggak ninggalin aku gitu aja tapi kamu udah ngerubah
dunia aku. empat taun Ga, empat taun, aku enggak pernah berhasil punya hubungan
yang baik. Semuanya singkat. Dan slama empat taun itu aku slalu bermimpi saat
aku buka mata nanti aku bakal baca sms dari kamu atau terima telpon dari kamu
atau mungkin bisa ngeliat kamu. Empat taun yang aku kenang cuman kamu. Apa kamu
pernah tau gimana hancurnya aku waktu dengar kabar kalo kamu mau tunangan
dengan perempuan gila itu? (air mataku menyucur deras) kamu enggak pernah tau
gimana sakitnya aku waktu tau itu dan mesti ngerelain itu. Ngelepasin semua
impian aku tentang kamu, ngebuang jauh semua harapan aku. dan bertaun-taun
setelah itu aku menanti kabar dari kamu, aku enggak tau apa yang mesti aku
lakukan ketika suatu hari nanti aku dengar kabar buruk tentang kamu. Dan itu
tiba-tiba setelah bertaun-taun aku enggak dengar kabar apapun dari kamu. Kamu
enggak pernah taukan gimana rasanya ketika kamu merindukan seseorang tapi kamu
enggak bisa melakukan apapun karna memang enggak tau mesti nyari orang itu
dimana dan mesti ngelakuin apa untuk mengungkapkan kerinduan kamu? Kamu udah
mati atau masih hiduppun aku sama sekali enggak pernah tau. (dengan cepat dia
mendekapku kedalam pelukannya yang erat) aku sayang sama kamu, Ga..”
Sambil menangis aku terus
memaksakan berbicara untuk meluapkan semua yang slama ini aku rasakan slama
bertahun-tahun lamanya. Aku tak ingat dengan Zizi, suamiku yang sekarang sedang
bekerja mungkin. Diwaktu yang bersamaan Zizi menelponku. handphoneku sengaja ku
silent dan kumasukkan kedalam dompet panjang. Duniaku berhenti yang ada
hanyalah pertanyaan “mengapa” dan “kenapa” yang terus ada dalam otakku. Rangga
memelukku erat seakan tak ingin melepasnya lagi, bebanku slama ini serasa
hilang saat dapat membasahi kemejanya dengan air mataku. Gerimis diluar tak
lama berhenti. Meninggalkan titik-titik air yang membasahi jendela kaca yang
ada didapur itu.
Pukul sembilan malam aku sampai
dirumah dengan diantar Rangga. Sebelum keluar dari mobilnya aku sempat terdiam
untuk beberapa menit. Aku lalu dengan cepat membuka pintu mobilnya sampai tangannya
menarik tanganku tanpa menoleh kearahku. aku lalu kembali duduk manis didalam
mobilnya, menunggunya mengatakan sesuatu. Dua menit ia hanya menatap lurus
kedepan. Aku lalu mencoba kembali membuka pintu mobilnya dan ditahan kembali.
“ Apa kamu benar-benar mencintai
Zizi?” tatapannya tajam lurus kedepan. Tak sedikitpun ia melirikku.
“ Pertanyaan bodoh apa ini.”
Jawabku lalu kembali mencoba membuka pintu mobilnya. Dengan cepat dia
mengaktifkan kuci pintu otomatis yang ada distir mobilnya.
“ Jawab pertanyaan aku dulu.”
Menoleh kearahku. matanya tajam menunggu jawaban dariku.
“ Apa aku mesti jawab itu?”
“ Jawab kalo kamu memang sayang
sama aku.” sahutnya cepat dan tegas.
“ Ok (dengan nada sedikit
tinggi) awalnya ia. Sampai kamu datang dan membuat semuanya menjadi samar.
Sekarang buka pintunya.”
(tersenyum sinis)
“ Rangga buka pin…-“ dalam
hitungan detik bibirnya tlah ada daiantara bibirku. Aku ingin berontak tapi aku
sungguh menikmati ciuman ini. Aku benar-benar tak dapat menahan diriku untuk
tidak membalas ciumannya. Dan tiba-tiba pikiran normalku segera bertindak, aku
mengingat Zizi dan spontan melepaskan ciuman itu. Aku ingin sekali menampar
wajahnya namun ia keburu menangkap tanganku.
“ Jangan bohongin hatimu,
dengarin dia bicara, biar dia yang nentuin pilihannya. Aku memang kurang ajar,
tapi kamu bakal jadi orang yang paling munafik kalo kamu bilang aku kurang ajar
karna kamu menikmati ciuman itu.” Matanya begitu berapi menatapku, namun nada
bicaranya tenang. Aku tak tau apa yang ada didalam otaknya.
Aku mencoba menahan tapi
sebagian hatiku menolak ucapannya dan tangan sebelahku siap menamparnya lalu
berhasil ditahannya lagi. Dia menatap mataku tegas namun teduh. Tatapan apa
itu?!
“ Aku hanya mengatakan sekali
karna aku enggak akan pernah ngulang kata-kata ini untuk yang kedua kalinya.
AKU-CINTA-SAMA KAMU-BODOH…” tatapannya benar-benar meyakiniku, yah.. dia
mencoba untuk membuatku percaya dengan ucapannya.
“ Stop, Ga.. STOP!!!” teriakku sambil menyucurkan
air mata dan melepas tanganku paksa dari genggaman tangannya. Rangga melepaskan
genggamannya dan menonaktifkan kuci pintu otomatisnya. Dengan cepat aku keluar
dari pintu sampai panggilannya menghentikan langkahku.
“ ALINE!! (mengejarku dan
berdiri tepat dibelakangku) aku hanya memintamu untuk berpikir, hanya itu.” Ia
berbisik tepat dibelakang telingaku kemudian Ia mundur perlahan lalu berbalik
dan masuk kedalam mobilnya.
Aku masih berdiri mematung
sambil terus menangis untuk beberapa detik dan saat aku sadar aku buru-buru
masuk kedalam rumah dan mengunci pintunya. Aku bersandar dipintu sambil terus
menangis, ntah apa yang aku tangisi. Masih tentang penyesalankah atau rasa
bersalahku atas ciuman tadi kepada Zizi, suamiku? Dari jendela kecil yang ada
disamping pintu aku mengintip, kulihat mobil Rangga baru bersiap untuk pergi.
Aku menangis terduduk, tak sanggup berdiri lagi, tubuhku lemas, badanku
bergetar, sementara aku tau handphoneku bergetar terus sejak tadi, mungkin itu
Zizi.
Setelah mengumpulkan cukup
tenaga untuk berdiri akupun berjalan menuju kamar. Sampai dikamar aku melepas
high heels bertaliku, melemparkan dompet tadi ketas kasur, lalu tubuhku. Malam
ini aku letih sekali rasanya, perlahan air mataku mulai berhenti, kuusap pelan,
dan terakhir kukeluarkan handphoneku dari dalam dompet kulihat ada sepuluh kali
panggilan tak terjawab dari Zizi, empat kali dari Nisa (teman kantorku yang
paling dekat denganku, sepupu Zizi), lima sms dari Zizi dan dua sms dari Nisa.
Tanpa kubaca aku langsung menonaktifkan telphoneku dan memejamkan mataku.
* * *
Keesokan paginya. Aku bangun dan
langsung menuju dapur setelah berganti pakaian. Aku meneguk seperempat gelas
air putih sambil duduk diatas kursi. Pikiranku benar-benar kacau pagi ini. Aku
membuat sarapan roti isi telur mata sapi yang sebelumnya rotinya tlah aku bakar
dengan tooster. Lalu aku membuat segelas susu rasa vanilla. Sambil sarapan aku
mencoba merenung atas semua yang tlah terjadi semalam. Smakin aku merenung
smakin pusing kepalaku rasanya.
Kuhabiskan sepanjang pagiku
dengan menonton kartun di tv. Kulihat jam yang terpampang didinding diatas tv
pukul 11.10, aku memutuskan untuk keluar rumah yah aku butuh refreshing
sekarang pikirku. Setelah mematikan tv aku bergegas untuk mandi. Setelah rapi
aku mencoba mengaktifkan handphoneku. Selain sms-sms semalam aku mendapatkan
tiga pesan dari Rangga. Aku membalas sms Zizi dan Nisa tapi tidak dengan
Rangga. Tak lama Zizi menelponku.
“ Sayang kamu kemana aja sih?”
sambarnya tanpa sempat aku mengucap Hallo.
“ Maaf ya, semalam itu aku
keluar makan makan malam sama beberapa teman SMAku, hpnya aku masukin dalam tas
terus aku silent jadi kamu nelpon aku enggak denger, enggak lama hpnya mati
gara-gara lowbet. Berhubung aku baru pulang jam sebelas malam, aku pulangnya
langsung tidur habis capek banget, lupa deh mau ngecasnya, tadi pagi baru
sempet aku cas pas bangun tidur dan sekarang baru aku aktifin.” Jelasku panjang
lebar.
“ Kamu tau enggak kamu tuh udah
bikin aku khawatir sama kamu, aku takut kamu kenapa-kenapa. Kalo sempet kamu
kenapa-kenapa aku enggak bakal pernah bisa maafin diri aku sendiri. Saking
paniknya karna kamu enggak ngangkat telpon aku, aku sampe minta tolong Nisa buat
nyari tau keberadan kamu.”
“ Ya udah aku minta maaf udah
bikin kamu cemas.”
“ Lain kali aku mau kamu jangan
lagi silentnin hp, ngerti?! Aku tuh suami kamu, pasti aku bakal pengen tau
keadaan kamu dong, aku takut terjadi sesuatu yang buruk sama kamu. Apalagi
dengan keadaan kita sekarang. Kamu janji?”
“ Iya aku janji sama kamu.”
“ Ok. (nadanya kembali ceria)
kamu lagi apa jam segini?”
“ Aku lagi siap-siap mau pergi
nih.”
“ Emangnya kamu mau kemana? Sama
siapa?”
“ Aku juga enggak tau mau kemana
atau sama siapa.”
“ Maksud kamu?”
“ Ya.. aku emang gak tau mau
kemana. Aku lagi pengen keluar aja, males sendirian dirumah.”
“ Emangnya kamu kenapa sih?
Akhir-akhir ini kamu sering diem dan sekarang ditanyaiin malah enggak tau mau
kemana?”
“ Enggak kenapa-kenapa sih,
beneran! Aku cuman pengen refreshing aja kok..”
“ Kenapa enggak sama Nisa aja?
Atau mau aku yang mintaiin tolong sama dia?”
“ Mmm.. lagi enggak pengen sama
dia.”
“ Kamu kenapa sih? Kayaknya aku
pulang nanti, kita harus bicara?”
“ Bicara apa sih? Kamu tuh
kenapa sih?” aku jadi sedikit kesal karna merasa dicurigaiin.
“ Aline! Aku ini suami kamu, aku
tau ada yang kamu sembunyiin dari aku pokoknya begitu aku pulang kita harus
bicara.”
“ TERSERAH!! Aku lagi enggak
pengen berantem sama kamu. Aku sayang sama kamu!” telpon ditutup.
“ Aline? Halo Aline?
(menghembuskan nafas) Aku juga sayang kamu.” Jawabnya pelan.
Aku bergegas mengambil kunci
mobil suamiku dan ketika aku membuka pintu rumah betapa kagetnya aku melihat
Rangga berdiri tegak didepan pintu, aku rasa dia ingin mengetuk pintu namun
keduluan aku yang membuka pintu. Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya
ditambah seikat bunga mawar merah yang dipegangnya. “ Mau apa?” tanyaku singkat.
“ Aku kesini cuman mau ngantarin
maaf sama ini (menyerahkan bunga dan aku terima) aku enggak tau mesti gimana
lagi, aku cuman pengen bilang kalo kejadian semalam enggak ada maksud apa-apa,
aku cuman (menghembuskan nafas pelan) aku cuman lepas kontrol.” Aku menatapnya
tajam.
“ Terserah kamu mau nerima maaf
aku atau enggak, bukan berarti kamu udah terima mawar itu juga kamu harus
maafin aku, itu hak kamu lho buat enggak kasi aku maaf. Aline, aku enggak bisa
jelasinnya kalo keadaannya kayak gini. Aku harap kamu ngerti.” Dia balas
menatapku.
“ (menunduk menyerah) aku enggak
pernah marah sama kamu, kalopun iya aku udah maafin kamu sebelum kamu minta
maaf atau ngantarin maaf kamu ke aku sekalipun.”
“ (tersenyum) kamu mau pergi?
Sama aku aja, kebetulan aku juga ada rencana mau ngajakin kamu pergi.”
Menaikkan kedua alisnya tanda bertanya.
“ Ok. Aku taro ini dulu.”
Meletakkan bunga mawar merah itu dan kunci mobil dimeja ruang tamu.
Aku dan Rangga memasuki pusat
perbelanjaan, kami menuju tempat bermain dan mulai bermain. Kami memang bukan
remaja yang sedang berpacaran dan kami juga tidak terlalu muda untuk bermain
ditempat ini namun itu semua tak pernah kami permasalahkan dan aku rasa kami
juga tidak terlalu tua untuk bermain disini. Aku dan Rangga begitu menikmati bermacam
permainan yang kami mainkan, disalah satu permainan ia berhasil memberiku
boneka jerapah kecil. Setelah bermain kami menonton film komedy dan setelah itu
makan di foodcart.
“ Somaynya satu bumbu sama
somaynya dipisah terus banyakin kecapnya yah, sama es jeruk peres yang manis
banget.” Pesannya pada penjaga salah satu stand. Aku tersenyum mendengar
pesanannya. “ Kenapa? Kok senyum?” tanyanya saat melihatku tersenyum.
“ Enggak. Jadi ingat kejadian
yang dulu-dulu aja.” Jawabku menahan tawa.
Setelah memesan pesananku, kami
memilih tempat duduk. Sambil menunggu datangnya pesanan kami, aku dan Ranggapun
berbincang tentang masa-masa saat kami bersama dulu. Beberapa peristiwa membuat
kami tertawa terbahak-bahak, sambil makanpun kami tetap berbincang, tertawa,
dan rasanya semuanya baik-baik saja tak ada masalah apapun yang kuingat sampai
tepukan Nisa dipundakku membuatku tersedak.
“ Aline!? (menatap Rangga dengan
penuh tanda tanya) kamu sama siapa kesini?” Mata Nisa seolah bertanya dan
mengatakan kecurigaan saat melihat Rangga.
“ Nisa?? Em, aku sama dia kesini
tadi. Kenapa?”
“ Dia siapa?” tanya Nisa ketus.
“ Kenalin saya Rangga. (menjabat
tangan Nisa) teman SMUnya Aline.” Tersenyum ramah
“ Nisa, sepupunya Zizi teman
kantornya Aline.” Jawabnya ketus.
“ Oh jadi sepupunya Zizi
suaminya Aline?”
“ Iya, kenapa?”
“ Enggak apa-apa senang aja bisa
ketemu sama kamu.” Senyumnya ramah.
“ Kalian berdua aja?” meminta
Aline menjawab.
“ Enggak kok. Tadi itu aku
enggak sengaja ketemu Aline di konter pulsa ditepi jalan, jadi.. aku sekalian
ngajakin dia kesini berhubung kita udah lama banget enggak ketemu sekalian mau
traktir dia juga. Kamu mau gabung makan sama kita? Kalo mau aku seneng banget
lo, jadi rame..” serunya dengan tenang dan diakhiri senyum ramah. Aku sungguh
kagum dengan kemampuan Rangga yang satu ini, dia pandai berbicara dan
meyakinkan orang lain lewat kata-katanya.
“ Enggak usah makasih, aku juga
kebetulan lagi ada perlu. Ok, Rangga nice to meet you, see you Lin..” ujarnya
sambil tersenyum. Aku hanya membalasnya dengan senyuman yang kupaksa. Kami
kembali duduk.
“ Wow.. kamu bener-bener, Hah~
tiba-tiba aja dia langsung senyum dan percaya gitu aja? Aku enggak heran kalo
kamu playboy, jurus itu masih kepake ya?”
“ (tertawa) aku enggak lagi
ngerayu dia. Aku pikir kebohongan itu akan sulit diketahui kalo kita tenang,
enggak panik. Tapi aku enggak maksud mau bohongin dia, cuman tadi aku liat kamu
kaget banget dan itu bisa bikin dia tambah curiga jadi lebih baik kalo aku yang
ngomong. Everything ok, allright?” tertawa lagi.
“ Yah.. salut deh buat bakat
kamu yang satu ini.” Balasku sambil tersenyum.
“ Ngomong-ngomong kalo kamu
memang enggak marah sama aku kenapa kamu enggak balas sms sama email aku? Terus
kenapa handphone kamu enggak aktif?”
“ Aku juga enggak ngerti kenapa.
Yang pasti aku ngerasa udah ngehianatin Zizi dan jadi orang yang jahat banget.”
Ujarku pelan.
“ (menggenggam sebelah tanganku)
kamu enggak jahat kok, aku yang jahat karna udah buat kamu jadi kayak gini.”
“ Memang! Kamu datang gitu aja
dan buat semuanya jadi ribet kayak gini.”
“ Aku enggak pernah
ngerencanaiin ini, enggak pernah. Aku juga enggak pernah ngeduga kalo kita
ketemu disaat yang enggak tepat, kamu udah jadi istri orang dan kayaknya aku
jadi pengganggu. Aku cuman enggak mampu nyembunyiin rasa iri aku sama Zizi.
Sebelum kejadian semalam, aku pernah sempet terpikir buat bikin kamu jatuh
cinta lagi sama aku melebihi cintanya kamu sama Zizi, setelah itu aku minta
kamu ceraiin Zizi dan kita bisa menikah lalu tinggal di Semarang tapi setelah
semalam aku tau aku enggak boleh egois kayak gitu, aku enggak mau ngerusak
kebahagiaan kamu dengan Zizi.” Tuturnya lembut.
“ Dari mana kamu tau aku dengan
Zizi bahagia?”
“ Kalo kamu enggak bahagia,
enggak mungkin kamu bertahan sampai hari ini hidup dengan dia. Udah dua
tahunkan? Aku enggak pernah tau Lin, kapan aku balik lagi ke Semarang dan kapan aku bisa balik lagi
kesini. Aku hanya enggak mau nyia-nyiaiin waktu aku disini dan aku enggak mampu
munafikin rasa kalo aku mau sama-sama kamu walau enggak bisa setiap saat. Aku
enggak tau aku bisa balik kesini lagi atau enggak, dan kalo jawabannya enggak
atlies aku punya kenangan yang bisa slalu aku ingat seumur hidup aku dan itu
pasti akan jadi yang terindah buat aku. tentang kita..”
“ Kayak mau mati aja sih..”
jawabku sambil meledek.
“ Justru karna aku enggak pernah
tau kapan aku mati makanya aku bikin pertanyaan buat diri aku sendiri, kalo aku
enggak bisa balik lagi kesini aku tau mesti ngebayangin wajah kamu kayak gimana
setelah sekian lama aku enggak ngeliat kamu.” Sorot matanya serius menatapku.
“ Kalo kamu datang lebih cepat,
aku pasti enggak bakal ngalungin cincin ini.” Ada penyesalan dalam kalimatku.
“ (tersenyum) aku juga pernah
mikir kayak gitu tapi ya udahlah… kamu udah makannya?”
(mengangguk)
“ Pulang yuk, udah sore banget.
Kamu pasti capek.” Tersenyum manis.
Aku bangkit dari kursi dan
melangkah disampingnya, tiba-tiba saja ia menggandeng tanganku dengan
santainya. Rangga, kalo aku tau kamu bakal kesini aku enggak bakal nerima
lamaran Zizi. Rangga, kalo kamu tau aku enggak pernah sebahagia ini sebelumnya
bahkan bersama Zizi sekalipun. Aku menatap wajahnya yang selalu membuat aku
bertahan saat semua kehancuran datang padaku, semua nasehatnya selalu
meyakinkanku, membantuku untuk berdiri.
Tiba-tiba langkahnya berhenti saat melihat dua
remaja laki-laki dan perempuan yang baru saja keluar dari photo box. Ia
melirikku. Aku menggeleng sambil berkata “ Jangan gila!” dan dia tertawa lalu
tanpa banyak tanya ia menarikku kebalik tirai itu aku sempat ingin keluar namun
ia berhasil membuatku duduk ditempat itu.
Dia memegang satu lembar yang
terdiri dari empat bagian dan aku memegang selembar yang sama juga. Kami
menyimpan photo itu masing-masing sebagai pengingat kebersamaan kami. Ia
mengantarku pulang, pukul 19.45 kami sampai dirumahku. Sebelum aku turun dia
memintaku untuk mencium kedua pipinya. Ntahlah, tapi kali ini aku tlah melupan
Zizi sepenuhnya. Sedikitpun rasa bersalah tak terbesit dihatiku.
Aku memasukkan mawar merah itu
kedalam vas kosong yang kuisi air dingin dan es batu yang kemudian kuletakkan
didalam kamar. Aku berbaring diatas kasurku sambil tersenyum sendiri dan
melihat kembali photo box kami. Aku terlelap dengan photo itu dalam dekapanku.
Hari ini memoryku terisi penuh dengan semua yang akan menjadi kenanganku
bersama Rangga.
* * *
Aku bangun dan bersiap untuk
pergi kekantor. Lagi-lagi saat aku akan membuka pintu aku melihat Rangga telah
berdiri tegap dengan senyum manis yang melengkung dibibirnya. Ditangannya ada
sebuah kotak makanan dan tangan yang lainnya memegang sebotol minuman. “
Selamat pagi.” Sapanya manis padaku.
“ Pagi juga.” Membalas
senyumnya.
“ Tuan putri sudah sarapan?”
“ Mmm..tergantung siapa yang
nanya.”
“ (tertawa sambil mencolek
hidungku) nih, aku bawain roti isi sama susu vanilla.”
“ Aduh jadi ngerepotin nih.. (menggaruk
belakang leherku) makasih ya.”
“ Cuman roti isi aja, enggak
repot. Ayo, aku antar kamu ketempat kerja, suami kamu masih belum pulangkan?!”
Perlakuan manis ini benar-benar
membuat Zizi menyingkir untuk sementara dari hatiku. Selama ini Zizi tak pernah
menyiapkan sarapan untukku tapi Rangga, ah sudahlah… didalam mobilnya aku
memakan roti isi itu dan meminum berapa teguk susu yang disiapkannya untukku.
Selama hampir dua minggu inilah rutinitasku tanpa Zizi pergi dan pulang bersama
Rangga, hampir sluruh hariku bersamanya.
Dua minggu, Zizi kembali dan aku
lupa menjemputnya dibandara. Saat aku pulang kerumah Zizi telah menungguku di
depan tv. Aku kaget dan bingung saat melihat dirinya tengah duduk bersandar
didepan tv menanti kepulanganku. “ Dari mana?” nada suaranya datar.
“ Dari kantor terus pulang,
enggak ada kemana-mana.” Jawabku mendekatinya perlahan.
“ Oh ya? (melirik arah jam) sama
siapa pulangnya? Kata Nisa udah berapa hari ini kamu dijemput dengan Camry
hitam setiap pulang kantor. Siapa?”
“ (tertawa) kamu curiga yah sama
aku?” Merangkulnya hangat dari belakang.
“ Aline, kamu aneh beberapa hari
blakangan ini (menurunkan tanganku dari pundaknya lalu berdiri dan berbalik
kearahku) pertama kamu sering enggak jawab telpon aku dan enggak pernah nelpon
aku ataupun sms aku selama aku diluar kota,
apa pekerjaan kamu sesibuk itu? Kedua Nisa bilang sama aku kalo dia pernah liat
kamu di mall sama cowok yang menurut pengakuanmu itu teman SMA kamu, dan kamu
enggak ada bilang sama aku mau pergi, apalagi minta izin. Ketiga tiba-tiba aja
kamu ganti password email kamu tanpa sepengetahuan aku dan terakhir kalo kamu
memang enggak dari mana-mana, kenapa baru pulang? Apa si Camry hitam itu teman
SMA kamu? Atau jangan-jangan kamu habis jalan-jalan sama dia? Makanya pulangnya
sampe jam segini?”
“ Ok, aku jelasin satu-satu sama
kamu biar kamu enggak salah paham. Pertama, kamu sering nelpon disaat yang
enggak tepat dan aku enggak punya waktu untuk sekedar ngerubah silent menjadi
dering toh pada akhirnya saat dikantor aku harus silentin juga, tentang kenapa
aku enggak pernah nanyain kabar kamu karna aku tau kamu sibuk, aku enggak
pengan ganggu kamu.”
“ Itu bukan alasan! Aku bisa
nelpon kamu buktinya kenapa kamu enggak bisa?” sambarnya cepat.
“ Punya dua pekerjaan itu enggak
gampang. Dan menjadi seorang konselor di SMA itu enggak mudah. Kedua, dia
memang teman SMA aku. Terserah kamu mau percaya atau enggak. Bukannya
sebelumnya aku udah bilang sama kamu kalo aku mau pergi. Dan kepergian aku
dengan dia bukan direncanaiin. Ketiga, walaupun kita suami-istri privacy
tetaplah sebuah privacy dan kamu enggak perlu usil. Keempat, aku tadi ada
lembur dan Camry hitam itu hanya teman yang sekalian lewat karna sebelumnya dia
minta temanin aku buat beli DVD. Aku enggak suka dengan cara kamu mencurigai
aku.”
“ Apa kamu pernah cerita
semuanya?”
“ Sepertinya kamu punya banyak
waktu, dua minggu kamu ninggalin aku dan aku harus cerita lewat telpon? Kamu
tau aku enggak suka.” Meninggalkannya dan masuk kedalam kamar.
Setelah
pembicaraan itu aku dan Zizi tak bertegur selama tiga hari sampai pada hari
jumat dia mengirimkan seikat bunga mawar merah kekantorku beserta greeting card
yang bertuliskan
I WANT TO SAY
APOLLAGIZE FOR
EVERYTHING, I MISS
YOU.
PLEASE DON’T IGNORE ME AGAIN.
I LOVE YOU…
Fahrezi
Setelah
membacanya aku lalu menelpon
dan mengucapkan terima kasih. Aku merasa aku juga sudah keterlaluan, Zizi tak
salah aku lah yang salah sebenarnya. Tak lama handphoneku berdering, telpon
dari Rangga.
“ Hallo?” sapaku.
“ Jam delapan malam pesawat aku
take off ke Semarang.”
Nada bicaranya lemah, tak bersemangat seperti biasa.
“ APA??? kenapa mendadak
begini sih?”
“ Aku baru buka email dan baru
ngeliat kotak posku. Suratnya udah dari dua hari yang lalu datang. Aku minta
maaf.. apa kita bisa ketemu buat yang terakhir kalinya?”
“ Aku bakal nganterin kamu
kebandara.”
“ Ok, jam tujuh malam aku udah
dibandara buat chek in. Aku tunggu kamu.”
“ I promise, see you.”
* * *
Pukul setengah delapan lebih lima belas menit aku tiba
dibandara. Aku mencari sosoknya dan akhirnya kutemukan Ranggan tengah duduk dengan
kepala yang ditundukkan kelantai sambil memainkan tiketnya. Aku berlari
kearahnya dan berdiri tepat didepannya. Dia mengangkat kepalanya perlahan untuk
melihatku. Ditatapnya mataku untuk beberapa menit. Aku berdiri sambil mengatur
nafas.
“ Aku minta maaf, aku memang
ceroboh. Makasih ya udah mau datang.” Melempar senyum yang dikulumnya.
“ (duduk disampingnya) sampai
disana kamu haru hubungi aku ya, terserah mau lewat telpon atau email, itu
HARUS!! Dan aku harap kita tetap bisa komunikasi, enggak kayak dulu. Janji?”
mengulurkan kelingkingku.
“ (tersenyum melihatku) ok, aku
janji.” Menjabat kelingkingku. Aku memeluknya erat dan diapun melakukan hal
yang sama. “ Baik-baik ya disini, sama suami kamu juga. Jangan lakuin apa yang
udah kita lakuin ke orang lain buat kedua kalinya, inget.” Melepas pelukan lalu
mencolek hidungku.
Suara wanita dari pengeras
suarapun terdengar, wanita itu meminta untuk semua penumpang dengan tujuan
Yogjakarta yang akan transit di Jakarta
untuk segera chek in dan naik ke dalam pesawat. Kami bangkit dari kursi. Ia
menatapku lama dan dalam lalu mengelus rambutku pelan dan melangkah untuk
meninggalkanku. Aku menatap langkahnya dengan penuh kegetiran, air mataku akan
segera tumpah sampai sebuah teriakan yang memanggil namaku merusak saat-saat
getir ini. Langkah Ranggapun terhenti. Rangga berbalik melihatku.
“ Aline? Aline!!” teriak sura
itu diiringi derap kaki yang setengah berlari. Aku berbalik ke arah datangnya sumber
suara.
“ (mengerutkan kening) Zizi?”
“ Hei, kamu ngapain disini?”
“ Nganterin teman. Kamu
sendiri?”
“ Client bos aku mau balik ke Medan.” Zizi membuang
pandangannya kebelakangku, untuk sesaat direnungnya objek itu dan aku pun
mengikuti arah matanya yang ternyata objek itu adalah Rangga. “ Rangga?” seru
Zizi yang lalu mendekatinya.
“ Ezi ya?” tanya Rangga balik.
Tak lama mereka tersenyum lalu saling berpelukan.
“ Gila, lama banget kita enggak
ketemu ya.. lo makin ganteng aja sekarang pantes Elsa cinta mati sama lo! Apa
kabar lo anak ilang?” tertawa sambil menepuk pundak Rangga.
“ (tertawa) baik, lo sendiri?”
“ Baik juga kok. Lo ngapain
disini?”
“ Gue mau balik ke Semarang, lo sendiri
ngapain disini?”
“Jadi slama ini lo disini? Udah
berapa lama? Kenapa lo enggak ngubungin gue sih? Gue abis nganterin client
tadi, biasa..”
“ Gue enggak tau lo disini, kan kita udah lama
enggak komunikasi lagi semenjak Elsa ngehapus nomor lo dari hp gue. Udah hampir
sebulanan gue disini.”
“Makanya jangan jadi anak ilang
lo, main ilang0ilang aja, kayak ninja lo tau enggak?! (tertawa) Oh iya
kebetulan itu istri gue.” Menunjuk kearahku.
“ Istri lo? Jadi Aline itu istri
lo?”
“ Iya. Lo kenal?”
“ (tersenyum) kenal banget malah. Sorry man,
itu udah panggilan ketiga bisa-bisa gue ketinggalan pesawat nih, gue cabut dulu
ya.” Menepuk pundak Zizi dan tersenyum sambil melambaik kearahku lalu berbalik
dan menjauh.
“ Ok, hati-hati lo!” teriak
Zizi.
“ Pasti. Salam buat istri lo,
jaga dia baik-baik. Lo beruntung banget bro bisa nikah sama dia.” Melangkah
secepat mungkin menuju pintu selanjutnya dengan berjalan mundur sebelumnya.
Aku menatap mereka berdua dengan
penuh tanda tanya. Lalu Zizi menghampiriku dan menggandeng tanganku menuju
keluar bandara. Didalam mobil.
“ Kamu kenal sama Rangga?” tanyaku penasaran.
“ Kenal banget. Satu komunitas sepeda ontel
waktu di Semarang.
Dia tuh teman baik aku dulu tapi sayang percintaanya tragis banget. Kayak
disinetron gitu lah. Enggak lama aku pindah kuliah dan kita enggak pernah
komunikasi lagi. Sebenarnya waktu masih di Semarang juga dia udah ngilang gitu aja,
katanya sih tunangan sama ceweknya yang psikopat itu. Kenapa? Dia teman baik
kamu ya?”
“ Iya.” Jawabku singkat lalu
menunduk.
“ Kenal dimana?”
“ Teman waktu kecil.”
“ Oh pantes, dia tadi nyuruh aku
jagain kamu baik-baik. Dia keget banget lo waktu tau kamu itu istri aku. kalian
deket banget yah?” aku hanya menganggukkan kepala. “ Kamu bukan mantan
pacarnyakan? Atau kamu selingkuh ya sama dia?” serunya sambil tertawa.
Tak ada satupun katapun yang
dapat kukatakan. Ucapan Zizi seperti menikam jantungku. Aku tau dia hanya
bercanda tapi itu semua terasa begitu mengena dihatiku. Tiba-tiba wajah Rangga
terlintas tepat didepan kedua mataku sementara ucapan Zizi tadi seperti halilintar
yang sedang menyambar hatiku. Walau kedekatan aku dan Rangga tak terungkap
namun perasaan bersalah pada Zizi benar-benar membuat luka tersendiri dihatiku.
Ternyata benar yang pernah
dikatakan seorang psikolog yang bukunya aku baca. “ Bila kau dilukai seseorang tak perlu kau balas untuk menggores
tubuhnya. Biarkan saja, bila dia mempunyai hati maka sesungguhnya dia akan
tersiksa atas perasaannya yang tlah melukaimu bahkan rasa itu lebih menyiksa
walau tak terungkap.”
* * *